Kopi Bajawa, Serenada Aroma dari Tanah di Atas Awan


Ia tumbuh di antara hujan, matahari, dan kerja tangan-tangan yang sabar. Ketika tiba saatnya ia diseduh, ia menjadi jembatan yang menghubungkan kita dengan bumi, dengan para petani, dengan cuaca yang pernah menyapanya. (Foto: Kopibajawa.com)

Oleh: Frids Wawo Lado

==============

Kopi selalu menjadi lebih dari minuman. Ia adalah sebuah peradaban kecil yang meresap ke dalam denyut kehidupan manusia. Sejak biji pertama ditanam di tanah subur, kopi sudah mengandung doa dan harapan. 

Ia tumbuh di antara hujan, matahari, dan kerja tangan-tangan yang sabar. Ketika tiba saatnya ia diseduh, ia menjadi jembatan yang menghubungkan kita dengan bumi, dengan para petani, dengan cuaca yang pernah menyapanya. 

Di antara semua kopi yang tumbuh di tanah Nusantara, kopi Bajawa adalah sebuah simfoni yang unik. Ia seperti musik klasik, tidak buru-buru, tidak berisik, tetapi mengalun perlahan dan membuat kita larut dalam keindahan yang subtil.

Bajawa adalah kota kecil di dataran tinggi Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebuah kota yang seolah berada di pangkuan gunung, dikelilingi kabut dan udara yang dingin. 

BACA JUGA: Menikmati Mausui, Menafsir Kidung Savana dan Bayangan Kuda

Ketinggian antara 1.200 sampai 1.800 meter di atas permukaan laut menjadikannya surga bagi tanaman arabika. Tanahnya vulkanik, abu gunung yang kaya mineral, memberi rasa yang khas pada setiap biji. 

Istilah Prancis “terroir” sangat tepat dipakai di sini. Gabungan tanah, udara, suhu, dan ketinggian yang menciptakan karakter rasa yang tak bisa ditiru di tempat lain. Bukan kebetulan jika kopi Bajawa berkali-kali masuk dalam daftar kopi terbaik dunia dan menjadi kebanggaan para pecinta kopi Nusantara.

Sejarah kopi Bajawa sendiri adalah cerita panjang tentang perjumpaan. Kopi pertama kali masuk ke Flores pada masa kolonial Belanda, sekitar abad ke-19. 

Pemerintah kolonial menanam kopi arabika di berbagai wilayah pegunungan Flores karena kondisi tanahnya yang ideal. Namun setelah Indonesia merdeka, banyak perkebunan besar yang ditinggalkan. 

Biji yang sudah diproses dijemur di bawah matahari, di atas para-para bambu atau lantai semen. Di sinilah aroma mulai terbentuk. 

Warga lokal lalu mengambil alih, merawat pohon-pohon kopi itu dengan cara mereka sendiri. Dari sinilah kopi Bajawa menemukan identitasnya, bukan kopi dari perkebunan raksasa, melainkan kopi rakyat.

Setiap biji yang Anda minum hari ini kemungkinan besar dipetik oleh seorang petani kecil yang hanya memiliki sebidang tanah beberapa hektar, mungkin bahkan kurang dari itu.

Pagi hari di Bajawa selalu dimulai lebih awal. Kabut masih turun, ayam baru berkokok, dan di kebun-kebun kopi terdengar langkah-langkah petani yang memeriksa pohon-pohon mereka. Musim panen selalu membawa suasana khusus. 

Buah kopi yang merah ranum dipetik dengan tangan, seleksi ketat dilakukan untuk memastikan hanya buah yang matang sempurna yang diambil. Proses ini disebut “selective picking,” dan membutuhkan ketelitian luar biasa. 

Petani tahu, satu buah yang terlalu muda dapat memengaruhi cita rasa seluruh batch. Setelah dipetik, buah kopi itu diproses secara “full washed”, metode basah yang membersihkan lendir buah dengan fermentasi dan air. Proses ini membuat rasa kopi menjadi lebih bersih, lebih terang, dan acidity-nya seimbang.

Biji yang sudah diproses dijemur di bawah matahari, di atas para-para bambu atau lantai semen. Di sinilah aroma mulai terbentuk. 

Angin pegunungan mengeringkan biji secara perlahan, memberi waktu bagi enzim di dalamnya untuk bekerja. Ada sesuatu yang meditatif dalam proses ini, hari demi hari, petani membolak-balik biji dengan pengki kayu, menjaga agar pengeringan merata. 

Jika hujan tiba-tiba turun, mereka akan bergegas menutup biji dengan terpal. Semua dilakukan dengan kesabaran dan cinta yang hampir ritualistik.

Ketika kopi itu akhirnya sampai di tangan penyangrai (roaster), ia masih menyimpan potensi rasa yang tersembunyi. Sang roaster, seperti seorang komponis, harus menemukan cara untuk mengekstrak simfoni rasa itu. 

Proses roasting untuk kopi Bajawa biasanya medium, agar profil rasa yang earthy dan chocolatey-nya tetap menonjol. Begitu biji mulai “first crack”, suara retakan kecil yang menandakan biji mengembang, aroma yang keluar begitu kompleks: campuran kacang panggang, rempah, bahkan aroma kayu manis samar.

Kenikmatan kopi Bajawa sejatinya terletak pada keseimbangannya. Ia tidak terlalu asam, tidak terlalu pahit. Ada body yang tebal, mouthfeel yang lembut, seperti satin yang menyentuh lidah. 

Rasa tanah (earthy) yang khas memberi kesan natural, seakan kita sedang duduk di hutan setelah hujan. Ada sweetness yang halus, mengingatkan pada karamel. Ini adalah kopi yang mengajak Anda untuk minum perlahan, untuk meresapi setiap lapis rasa. 

Ia bukan kopi yang terburu-buru. Bahkan dalam espresso sekalipun, kopi Bajawa tetap mempertahankan kelembutannya.

Namun, lebih dari rasa itu, kopi Bajawa mengandung filosofi hidup. Ia mengajarkan kita tentang kesabaran, dari menanam, menunggu pohon berbuah, memanen, mengeringkan, menyangrai, hingga menyeduh. Semua proses itu tidak bisa tergesa-gesa. 

Kopi Bajawa yang disangrai secara tradisional

Hasilnya, sebuah cangkir yang nikmat, adalah buah dari kesabaran itu. Filosofi ini sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Bajawa, yang hidup selaras dengan alam. 

Bagi mereka, kopi adalah hadiah dari leluhur. Menikmati kopi adalah bentuk syukur. Di rumah-rumah orang Bajawa, kopi sering disajikan ketika ada tamu datang. Ia menjadi perekat sosial, membuat percakapan mengalir, membuat jarak antara orang-orang menjadi cair.

Sebagai seorang perantau asal daerah ini, saya selalu menganggap kopi Bajawa sebagai alasan untuk kembali. Saya ingat suatu pagi di sebuah kampung, Ngoranale namanya, di lereng Wawo Mudha. 

Seorang ibu tua menyeduhkan kopi untuk saya, tanpa banyak kata. Uapnya naik perlahan, kabut turun, dan suara ayam terdengar dari kejauhan. Tidak ada yang terburu-buru. Di momen itu saya merasa dunia bisa berhenti berputar sejenak, dan itu baik-baik saja. Kopi itu bukan hanya minuman, ia adalah portal yang membawa saya ke kedalaman diri.

Kini kopi Bajawa sudah mendunia. Ia diekspor ke Eropa, Amerika, Jepang. Namun di tempat asalnya, ia tetap sederhana, tetap hadir di meja kayu desa, tetap diseduh dengan panci kaleng yang sama. 

Barangkali di situlah letak keindahannya, kopi ini tidak kehilangan jiwanya meski telah menempuh perjalanan jauh. Ia tetap kopi yang sama, kopi yang lahir dari peluh petani, dari tanah vulkanik Flores, dari matahari yang membakar, dari hujan yang setia.

Jika setiap kali cangkir terakhir tandas, selalu ada kerinduan untuk mengisinya kembali. Kopi Bajawa tidak pernah benar-benar habis. Ia meninggalkan jejak, sebuah aftertaste yang bertahan lama, di lidah, di ingatan, di hati. 

Ia seperti lagu yang indah, yang setelah selesai dimainkan membuat kita menekan tombol replay. Ia mengingatkan kita bahwa hidup seperti kopi, seharusnya dinikmati perlahan. ***

Posting Komentar

0 Komentar