![]() |
| Ilustrasi suanggi |
Oleh: Frids Wawo Lado
===================
Di Nusa Tenggara Timur dan Maluku, kata suanggi bukanlah kata biasa. Ia adalah kata yang diucapkan dengan suara pelan, penuh rasa waspada, seolah-olah udara akan pecah jika disebut terlalu lantang.
Di balik kata itu ada dunia bayangan yang bergerak senyap di antara nalar dan iman, di antara siang yang terang dan malam yang gelap. Suanggi adalah kisah, sekaligus peringatan, sekaligus misteri yang tak pernah benar-benar selesai dibahas.
Fenomena suanggi dapat kita baca sebagai narasi kosmik, cara masyarakat merespons hal-hal yang tak dapat dijelaskan dengan logika sehari-hari.
Dalam bahasa fisika, ia mirip dengan anomali, gangguan kecil yang mengguncang keteraturan sistem. Seperti partikel yang tak terdeteksi tapi menimbulkan efek pada medan energi, suanggi tak terlihat namun terasa.
BACA JUGA: Kopi Bajawa, Serenada Aroma dari Tanah di Atas Awan
Antropolog seperti Clifford Geertz pernah mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum, makhluk yang selalu memberi makna.
Dalam konteks masyarakat NTT atau Maluku, suanggi menjadi “penjelas” atas segala hal yang tidak masuk akal seperti penyakit mendadak, panen gagal, konflik rumah tangga.
Ketika sebuah variabel X tak dapat dijelaskan oleh persamaan sosial yang ada, masyarakat menambahkan simbol suanggi sebagai koefisien penyelesaian.
Dalam penelitian etnografi di Maluku oleh B. Bartels (1994), suanggi disebut sebagai bagian dari “sistem keseimbangan sosial”.
Tuduhan terhadap seseorang sebagai suanggi kerap muncul ketika ada ketimpangan sosial atau konflik laten.
Seseorang yang tiba-tiba kaya, terlalu sukses, atau terlalu pintar, akan dilihat dengan curiga. Tuduhan ini berfungsi seperti feedback loop negatif dalam sistem elektronik. Ia menurunkan tegangan sosial agar arus kehidupan kembali seimbang.
Menariknya, dalam sejarah kolonial Belanda di Maluku, laporan misionaris menyebutkan bahwa kasus suanggi kerap meningkat saat musim paceklik atau epidemi.
Dengan kata lain, suanggi adalah cara masyarakat menstrukturkan ketidakpastian. Mereka “menemukan” penyebab agar bisa mengontrol keadaan.
Dalam psikologi modern, hal ini disebut sebagai locus of control eksternal, kecenderungan menghubungkan nasib pada kekuatan di luar diri.
Bagi korban tuduhan suanggi, dampaknya bisa sangat nyata, yakni dikucilkan, dipukul, bahkan dibunuh.
Di sini, kita melihat sisi gelap dari mekanisme sosial tadi. Suanggi bukan hanya konsep mistis, ia adalah alat kuasa, cara masyarakat menyingkirkan “unsur yang mengganggu”.
Dalam istilah sosiologi, ini mirip dengan teori scapegoating, pencarian kambing hitam untuk menyalurkan ketegangan sosial.
Ada pula dimensi trauma yang tak kalah penting. Orang yang merasa dirinya menjadi target suanggi sering mengalami gangguan psikosomatis, tubuh lemas, sulit tidur, jantung berdebar.
Secara medis, ini dapat dijelaskan dengan aktivasi sistem saraf simpatis, pelepasan adrenalin yang berlebihan membuat tubuh berada dalam mode “fight or flight” terus-menerus.
Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menurunkan daya tahan tubuh dan memicu penyakit. Jadi meskipun suanggi tak bisa diukur dengan alat laboratorium, efeknya pada kesehatan sangat nyata.
Banyak kisah rakyat menggambarkan suanggi sebagai bola api yang melayang di langit malam.
Deskripsi ini menarik bila kita kaitkan dengan fenomena ball lightning, kilatan listrik berbentuk bola yang jarang terjadi, biasanya muncul saat badai petir.
Fenomena ini masih menjadi misteri dalam fisika plasma, tetapi laporan ilmiah menyebutkan bahwa ia bisa melayang beberapa detik, memancarkan cahaya, bahkan mengeluarkan suara mendesis.
Apakah mungkin masyarakat pada masa lalu menyaksikan fenomena ini dan menafsirkannya sebagai suanggi? Bisa jadi.
Dalam tradisi lain di dunia, kita menemukan deskripsi serupa. Di Eropa, ada cerita tentang will-o’-the-wisp, bola cahaya yang menuntun orang tersesat di rawa.
Di Jepang, dikenal hitodama, roh orang mati yang tampak seperti api biru.
Di Amerika Latin, ada luz mala dengan deskripsi hampir sama. Ini menunjukkan bahwa pengalaman visual terhadap cahaya misterius di malam hari adalah pengalaman lintas budaya, yang kemudian diinterpretasikan sesuai kosmologi lokal.
Dalam masyarakat Flores, upaya menghadapi suanggi dilakukan melalui ritual bersama di antaranya doa, pemanggilan dukun, atau upacara adat.
Ini bisa dilihat sebagai bentuk terapi kelompok. Dengan berkumpul dan melakukan tindakan simbolis, masyarakat memulihkan rasa aman. Secara psikologis, ini menurunkan level kortisol (hormon stres) karena tubuh merasa dilindungi oleh komunitas.
Ritual ini juga berfungsi mengembalikan homeostasis sosial. Dalam biologi, homeostasis adalah mekanisme tubuh menjaga keseimbangan.
Masyarakat juga memiliki homeostasisnya sendiri, dan tuduhan suanggi adalah sinyal bahwa keseimbangan sedang terganggu. Upacara adat bertindak seperti reset button agar harmoni kembali tercapai.
Fenomena serupa dapat ditemukan hampir di semua budaya. Di Eropa abad pertengahan, ada perburuan penyihir yang terkenal. Ribuan orang, terutama perempuan, dibakar hidup-hidup karena dituduh bersekutu dengan iblis.
Dalam budaya Afrika, dikenal konsep witchcraft atau sorcery yang juga sering memicu konflik. Antropolog Evans-Pritchard dalam studinya tentang suku Azande menjelaskan bahwa witchcraft digunakan untuk menjelaskan peristiwa buruk yang tidak dapat dijelaskan secara logis.
Kesamaan ini menunjukkan bahwa kebutuhan manusia untuk mencari “penyebab” adalah kebutuhan universal.
Dalam bahasa fisika, ini seperti prinsip kausalitas, setiap efek harus punya sebab. Manusia sulit menerima bahwa sesuatu terjadi secara acak. Suanggi hadir sebagai variabel sebab yang mengisi kekosongan itu.
Menariknya, di era internet, konsep suanggi tidak menghilang. Ia justru menemukan medium baru, media sosial.
Kabar tentang “suanggi” bisa viral, menyebar secepat foton dalam ruang hampa. Masyarakat sekarang tidak hanya membicarakannya di beranda rumah, tapi juga di grup WhatsApp.
Dalam sosiologi digital, ini disebut sebagai amplifikasi rumor, proses di mana kabar yang belum tentu benar mendapatkan validasi karena diulang-ulang oleh banyak orang.
Ada sisi positif dan negatifnya. Positifnya, diskusi tentang suanggi bisa menjadi ruang untuk pendidikan kesehatan dan klarifikasi.
Negatifnya, tuduhan bisa semakin cepat menyebar, menyebabkan stigma yang lebih luas. Di sinilah pentingnya literasi digital agar masyarakat mampu memilah informasi.
Di balik semua analisis ini, ada pertanyaan filosofis yang mengendap, apakah suanggi sungguh-sungguh ada, ataukah ia hanya cermin yang memantulkan ketakutan manusia?
Dalam mekanika kuantum, ada konsep superposisi, sesuatu bisa berada dalam dua keadaan sekaligus sampai diamati. Mungkin suanggi pun demikian, ia ada sekaligus tidak ada.
Ia ada di medan psikologis, sosial, dan kultural, meskipun tidak bisa diukur secara empiris.
Bagi saya, daya pikat suanggi justru ada pada ketidakpastian ini. Ia membuat manusia tetap rendah hati di hadapan semesta.
Ia adalah pengingat bahwa sains belum menjawab segalanya, bahwa di antara partikel dan gelombang, masih ada ruang untuk misteri.
Suanggi adalah lebih dari “hantu” atau “ilmu hitam”. Ia adalah sistem makna, mekanisme sosial, sumber ketakutan sekaligus solidaritas.
Ia pun adalah bagian dari jaringan simbol yang membentuk identitas masyarakat. Dengan memahaminya, kita bukan hanya belajar tentang dunia gaib, tetapi juga tentang cara manusia membangun kosmos mereka sendiri, tentang bagaimana mereka mengubah ketakutan menjadi cerita, cerita menjadi ritual, dan ritual menjadi harmoni.
Mungkin, di sebuah malam yang sunyi di pedalaman Flores, ketika kita melihat bintang gemintang, mendengar angin menembus celah-celah bambu, kita pun akan merasakan kehadiran sesuatu.
Apakah itu suanggi? Atau hanya gema dari kesadaran kita sendiri? Pertanyaan itu akan terus hidup, seperti api kecil yang tak padam-padam. ***

0 Komentar