![]() |
| Foto ilustrasi [pps.unisma.ac.id] |
Oleh: FRIDS WAWO LADO
===============
Di zaman ketika layar gawai lebih sering disentuh daripada pundak tetangga, kita menyaksikan satu fenomena ganjil sekaligus getir, yakni FB Pro, tempat duka berubah jadi konten, air mata jadi algoritma, dan kematian dijadikan tiket menuju FYP.
Coba buka linimasa. Ada unggahan foto seseorang yang baru saja berpulang, lengkap dengan keterangan dramatis, “Turut berduka cita, semoga almarhum tenang di sisi-Nya.”
Tapi tunggu dulu, ada yang janggal, caption penuh emoticon menangis terselip di antara tautan iklan aplikasi, kolom komentar yang dijejali basa-basi, dan angka engagement yang terus naik. Duka itu dipajang seperti baliho digital.
BACA JUGA: Parkir Liar di Lahan Gratis adalah Rente Kecil namun Masalah Besar
Yang lebih getir, sebagian besar pengunggah bahkan tidak benar-benar kenal dengan si almarhum. Nama hanya ditempel, foto dicomot, lalu jadilah konten. Semua demi views, likes, dan tentu saja, cuan.
Kematian, Algoritma, dan Pasar Luka
Ada yang bilang, “Duka adalah bahasa universal.” Benar. Tapi di tangan kreator FB Pro, duka juga jadi komoditas universal.
Algoritma media sosial bekerja seperti pasar malam yang ramai, yang heboh, yang bikin orang berhenti scroll, itulah yang dijual. Dan apa yang lebih ampuh menghentikan jempol netizen selain kabar kematian?
Yang bikin miris, fenomena ini melahirkan semacam “pasar luka massal.” Kematian orang lain, entah itu selebriti, tokoh publik, bahkan warga biasa dijadikan bahan bakar konten. Duka dijual murah, tapi traffic-nya mahal.
Antara Empati dan Eksploitasi
Sebagian orang mungkin berkilah, “Ini bentuk empati, tanda peduli.” Tidak salah, asal benar-benar tulus. Tapi ketika empati bertransformasi jadi strategi branding, ketika doa berganti jadi template caption, ketika wajah orang meninggal dipajang demi engagement, di situlah garis tipis antara kemanusiaan dan eksploitasi retak.
Kita jadi bertanya:
* Apakah doa harus di-monetize?
* Apakah rasa kehilangan perlu dikemas biar FYP?
* Apakah almarhum masih manusia, atau hanya sekadar materi konten?
Menohok Cermin Kita
Fenomena FB Pro ini sebetulnya bukan hanya soal orang-orang yang tega menjadikan duka sebagai cuan.
Ia adalah cermin besar bagi kita semua, para konsumen konten. Bukankah konten semacam ini laku karena kita klik, kita tonton, kita komentari? Bukankah kita yang memberi panggung?
Di satu sisi kita mengutuk, “Kok tega ya, orang meninggal dijadikan bahan konten!” Tapi di sisi lain, kita tetap menonton, ikut menuliskan “turut berduka cita” di kolom komentar, sambil diam-diam memantau berapa banyak viewers yang datang.
Humanisme yang Hilang
Sejatinya, kematian adalah ruang hening. Ia minta penghormatan, bukan keramaian. Ia butuh doa, bukan likes.
Tapi di tangan segelintir orang, hening itu dijadikan musik latar, doa diganti hashtag, dan jenazah jadi konten yang berputar di layar kaca kecil.
Fenomena FB Pro menunjukkan betapa rapuhnya sensitivitas kita di era digital. Humanisme perlahan terkikis algoritma, dan rasa empati digantikan kalkulasi impresi.
Saatnya Mengembalikan Rasa
Barangkali kita tak bisa menghentikan arus konten duka yang berseliweran di FB Pro atau platform lain.
Tapi setidaknya, kita bisa memilih, apakah mau jadi bagian dari pasar luka itu, atau tetap menjaga rasa hormat pada yang berpulang? ***

0 Komentar