Catcalling Bisa Jadi Luka Psikologis yang Tak Terlihat bagi Para Wanita

Ilustrasi catcalling (foto: Facebook @Tabu Id)


Oleh: Frids Wawo Lado

============

Catcalling sering dianggap sepele, bahkan di sebagian masyarakat masih dilihat sebagai “bumbu” interaksi sosial yang lucu atau tanda perhatian. 

Padahal, bagi sebagian besar perempuan, catcalling bukan hanya gangguan kecil, tetapi sebuah pengalaman yang bisa menimbulkan rasa takut, cemas, bahkan trauma. 

Fenomena ini masih marak terjadi di ruang-ruang publik kita seperti di jalan, di transportasi umum, di kampus, bahkan di lingkungan kerja, dan dampaknya terhadap kesehatan mental perempuan jauh lebih dalam dari yang terlihat di permukaan.

Catcalling secara sederhana dipahami sebagai komentar, siulan, panggilan, atau gestur yang bersifat seksual terhadap seseorang, biasanya perempuan, yang dilakukan di ruang publik tanpa persetujuan mereka. 

BACA JUGA: STOP Catcalling! Perempuan Berhak Merasa Aman di Jalan

“Cantik banget nih, senyumnya, senyum dong!”, “Eh, manis, mampir sini!”, atau bahkan siulan panjang yang membuat kepala otomatis menoleh. Inilah bentuk-bentuk catcalling yang banyak ditemui. 

Data dari Hollaback! dan Cornell University (2014) menunjukkan bahwa 65% perempuan di seluruh dunia pernah mengalami pelecehan verbal di ruang publik sebelum mereka berusia 18 tahun. 

Di Indonesia, hasil survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada tahun 2020 menemukan bahwa 3 dari 5 perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik, dan catcalling menempati posisi teratas sebagai bentuk pelecehan yang paling sering terjadi.

Mengapa ini berbahaya? Karena catcalling bukanlah “pujian.” Dalam banyak kasus, catcalling dilakukan dengan nada yang mengobjektifikasi, membuat perempuan merasa tubuh mereka sedang dinilai, dikomentari, bahkan dimiliki oleh orang asing. 

Ada dimensi relasi kuasa di sana dan pelaku memposisikan diri sebagai pihak yang berhak memberikan komentar terhadap tubuh seseorang tanpa diminta, sementara korban dipaksa menjadi objek tontonan. 

Situasi ini membuat perempuan kehilangan rasa aman, bahkan di tempat yang seharusnya netral seperti trotoar atau halte. Rasa aman adalah salah satu kebutuhan psikologis dasar manusia. 

Ketika rasa aman itu terganggu, dampaknya bisa sangat serius, yakni kecemasan berlebih, stres kronis, dan bahkan gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Dampak psikologis dari catcalling bisa berbeda-beda, tergantung frekuensi dan intensitasnya. Ada perempuan yang mengalami serangan panik setiap kali melewati tempat yang sama di mana ia pernah dipanggil-panggil dengan nada melecehkan. 

Ada pula yang mulai mengubah rutinitas hariannya, memilih jalan memutar, mengganti pakaian agar lebih longgar, atau bahkan membatasi keluar rumah tanpa teman. 

Studi yang diterbitkan dalam Journal of Social Psychology (2019) menunjukkan bahwa 41% perempuan yang rutin mengalami catcalling merasa mengalami penurunan signifikan dalam rasa percaya diri dan harga diri mereka. 

Catcalling membuat perempuan merasa tubuh mereka hanya dilihat dari sudut pandang seksual, mengabaikan identitas, pikiran, dan kepribadian mereka. 

Lama-kelamaan, pengalaman ini dapat menyebabkan internalisasi misogini, di mana korban mulai menyalahkan dirinya sendiri.

“Mungkin salahku, mungkin bajuku yang terlalu terbuka.” Ini adalah dampak paling berbahaya, menggerogoti martabat dan keutuhan psikologis korban dari dalam.

Masalah ini menjadi semakin kompleks karena masih ada norma sosial yang menganggap catcalling “biasa saja” atau bahkan romantis. 

Banyak laki-laki tidak menyadari bahwa komentar mereka menimbulkan ketakutan. Mereka menganggapnya sebagai cara bercanda atau bentuk “kagum.” Namun, jika kita membalik perspektif, kita akan menyadari betapa tidak seimbangnya posisi itu. 

Bayangkan berjalan seorang diri di malam hari, mendengar siulan panjang dari sekelompok orang, lalu disusul tawa. 

Tubuh akan bereaksi secara otomatis, detak jantung naik, telapak tangan berkeringat, otak bersiap untuk mode “fight or flight.” Inilah respons fisiologis terhadap ancaman. Artinya, bagi otak korban, catcalling bukan saja kata-kata, namun itu adalah sinyal bahaya.

Catcalling juga memiliki dampak sosial yang luas. Jika pengalaman ini terus-menerus dialami oleh perempuan sejak usia muda, mereka akan belajar bahwa ruang publik bukanlah ruang yang aman. 

Hal ini menimbulkan efek “pengasingan sosial”, perempuan membatasi mobilitasnya, mengurangi partisipasi di kegiatan luar rumah, dan merasa bahwa mereka harus selalu waspada. 

Dalam jangka panjang, hal ini memperkuat ketidaksetaraan gender, karena perempuan dipaksa membayar harga mental yang lebih mahal hanya untuk melakukan aktivitas sehari-hari. 

Menurut laporan World Health Organization (WHO, 2021), pelecehan seksual di ruang publik, termasuk catcalling, merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka depresi pada perempuan di usia produktif.

Selain itu, ada efek domino terhadap kepercayaan masyarakat. Jika pelecehan di ruang publik dianggap lumrah, maka standar etika sosial semakin menurun. 

Anak-anak yang menyaksikan ayah atau kakaknya melakukan catcalling akan menganggap itu perilaku normal. Siklus ini terus berulang, dan akhirnya membentuk budaya yang permisif terhadap kekerasan berbasis gender. 

Padahal, catcalling adalah pintu masuk menuju bentuk pelecehan yang lebih serius. Banyak penelitian menunjukkan keterkaitan antara perilaku seksual verbal yang dibiarkan dengan peningkatan risiko pelecehan fisik di kemudian hari.

Mengatasi catcalling membutuhkan pendekatan yang sistematis. Edukasi publik adalah langkah awal. Laki-laki harus diajak memahami bahwa kata-kata mereka bukan hanya bunyi di udara, tetapi bisa menimbulkan luka psikis. 

Kampanye yang menekankan empati, misalnya dengan menggambarkan pengalaman dari sudut pandang korban, terbukti efektif. 

Di beberapa negara, seperti Prancis, catcalling sudah dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dengan denda yang cukup tinggi. 

Indonesia pun sebenarnya memiliki dasar hukum, seperti UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang mulai berlaku pada tahun 2022, yang mengakui pelecehan seksual verbal sebagai tindak pidana. Namun, penerapannya masih lemah dan perlu sosialisasi lebih luas.

Di tingkat individu, dukungan sosial sangat penting. Perempuan yang mengalami catcalling perlu mendapatkan ruang aman untuk berbicara, baik di lingkaran keluarga maupun komunitas. 

Mendengarkan tanpa menyalahkan adalah bentuk dukungan yang paling sederhana namun berdampak besar. Sementara itu, media juga memegang peran strategis untuk mengubah narasi. 

Alih-alih menormalisasi pelecehan verbal dengan menjadikannya humor, media harus mengangkat cerita korban dan memberikan wawasan tentang konsekuensi psikologisnya.

Pada akhirnya, catcalling bukanlah persoalan sepele. Ini bukan tentang ego laki-laki yang ingin mengekspresikan kekaguman, melainkan tentang bagaimana kita sebagai masyarakat memutuskan siapa yang berhak merasa aman di ruang publik. 

Perempuan berhak berjalan tanpa rasa takut, tanpa harus memikirkan apa yang mereka kenakan atau jam berapa mereka keluar rumah. 

Catcalling adalah bentuk pelecehan yang menggerus martabat, menciptakan ketakutan, dan membatasi kebebasan. 

Jika kita ingin membangun kota yang inklusif dan setara, kita harus mulai dari hal-hal kecil yang selama ini dianggap normal. 

Menghentikan catcalling berarti mengembalikan rasa aman, dan rasa aman adalah fondasi bagi kesehatan mental, produktivitas, dan kebahagiaan setiap warga, terutama bagi perempuan. ***

Posting Komentar

0 Komentar