Menikmati Mausui, Menafsir Kidung Savana dan Bayangan Kuda

Mausui terletak di wilayah Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. (Foto: Facebook @Anak Timur)


Oleh: Frids Wawo Lado

=================

Padang Mau Sui, atau yang lebih sering disebut Padang Savana Mausui, adalah salah satu lanskap untuk siapa saja yang pernah menunggu matahari naik di ufuk Flores, terasa seperti bait puisi panjang yang menunggu untuk dibaca. 

Hamparan rumputnya merentang seperti kain sutra hijau yang sedang dikibas angin. Di kejauhan gunung-gunung merunduk sebagai saksi bisu, dan di salah satu ujung cakrawala, laut memantulkan cahaya seperti fragmen cermin pecah. 

Nama tempat ini sudah mulai berseliweran di peta perjalanan para petualang. Mausui terletak di wilayah Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. 

Sebuah titik di peta Flores yang menyodorkan kombinasi daratan sabana, pegunungan, dan garis pantai yang langka bertemu.

Datang ke Mausui seperti memasuki sebuah ruang yang diciptakan ulang oleh alam. Secara geografis, padang sabana ini berada dalam kontur dataran rendah yang dibatasi perbukitan. 

Lahan yang pada musim hujan berubah menjadi hijau menebal, dan saat kemarau menjadi kuning keemasan yang mengingatkan pada savana di belahan bumi lain. Di sini, ritme alam menulis ulang warna dan tekstur setiap musim.

Rumput menjadi ladang puisi, embun pagi menjadi kalimat yang rapuh, dan kabut tipis pada jam-jam awal memberi unsur mistik yang membuat pemandangan itu terasa seperti “darśana”, penyaksian yang hampir religius terhadap dunia. 

Mausui terletak di wilayah Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. (Foto: Facebook @Anak Timur)

Fakta-fakta geografis dan dinamika warna musim ini tercatat pula dalam deskripsi perjalanan dan liputan lokal tentang kawasan Mausui.

Jika Anda seorang pembaca yang juga pelancong, Mausui menawarkan lebih dari foto Instagram yang sempurna. Ada kubangan alami.

Kubangan Mausui, yang menjadi titik ekologis, tempat ternak lokal berendam dan burung-burung mencari nafkah. 

Di padang ini kuda, sapi, bahkan kerbau berkeliaran, menambah tekstur kehidupan yang terasa sangat “bhūmi”, perwujudan tanah yang hidup. Interaksi antara fauna domestik dan lanskap menjadi bagian dari estetika tempat ini, bukan hanya pemandangan, tetapi juga syair kehidupan sehari-hari yang terekam dalam gerak-gerik binatang dan manusia yang menggembala. 

Sumber-sumber perjalanan dan observasi lapangan yang ditulis wisatawan dan jurnalis lokal menegaskan keberadaan elemen-elemen ini sebagai daya tarik tersendiri.

Akses menuju Mausui mengandung sedikit petualangan. Bila Anda memulai dari Borong, perjalanan darat kira-kira dua jam melintasi jalur yang kadang beraspal dan kadang berwajah tanah.

Dari Labuan Bajo jaraknya lebih jauh, menuntut hingga beberapa jam perjalanan. Pengalaman tiba di sana, setelah jalan berliku dan perubahan lanskap yang berangsur dari hutan ke padang terbuka, memberi sensasi transisi yang mendalam, seolah meninggalkan satu dunia dan memasuki yang lain. 

Hal praktis ini penting bagi perencana perjalanan. Persiapkan kendaraan yang memadai, cadangan air, dan kehendak untuk menerima kondisi fasilitas yang masih sederhana. Informasi rujukan perjalanan dan panduan lokal mencatat jalur-jalur ini dan merekomendasikan waktu-waktu terbaik kunjungan agar pengalaman Anda lebih intim dengan lanskap.

Menulis tentang Mausui sebagai penulis-traveler membuat saya ingin memakai istilah-istilah yang cenderung ditemukan pada novel perjalanan lama.

Ada “nocturne” di langit malam ketika camping, ada “anaphora” dalam repetisi warna yang mengulang dari pagi ke petang, dan ada sensasi “rasa”.

Rasa tempat, yang tak mudah ditangkap oleh katakata biasa. Di sini, setiap langkah kecil menghasilkan peta baru bagi kenangan.

Langkah-langkah di rerumputan menghasilkan bunyi serupa kertas kuno yang dibalik, napas angin menyusup seperti mantra, dan siluet kuda di kejauhan tampak seperti ukiran gerak yang tak pernah usang. 

Pembaca yang menyukai sastra mungkin akan menemukan kebahagiaan dalam metafora-metafora tersebut, sedangkan pengamat alam akan senang melihat bagaimana bioma sabana Flores menawarkan ruang penting bagi keanekaragaman lokal. 

Beberapa tulisan perjalanan dan liputan menulis tentang sensasi-sensasi ini, menggabungkan pengamatan lapangan dengan keinginan estetis yang kuat.

Pengalaman matahari terbenam di Mausui, ini bukan hanya tontonan visual. Bagi saya, ia menyerupai ritual kecil yang memupus kesibukan sehari-hari. 

Saat sinar mulai memerah dan menyapu padang, warna berubah menjadi kado. Kuning keemasan yang melebur ke jingga, lalu menjadi bayang-bayang panjang yang mempertegas lekuk-lekuk tanah. 

Di garis pantai yang berdekatan, riak air seperti menanggapi drama warna tersebut, memantulkan nuansa yang berbeda tetapi serasi. Di momen-momen seperti ini, istilah “prakriti” (alam) dan “rasa” terasa relevan. Bukan hanya konsep, melainkan pengalaman inderawi yang utuh, melihat, mendengar, merasakan, dan menjadi. 

Laporan-laporan perjalanan yang memotret sunrise dan sunset di Mausui sering merekomendasikan datang pada pagi atau sore hari untuk mendapatkan cahaya terbaik, sebuah nasihat praktis yang juga menyimpan pesan puitik.

Namun jangan bayangkan Mausui sebagai taman wisata yang sepenuhnya ramping. Di balik keindahan itu ada batas-batas infrastruktur yang perlu ditakar. 

Fasilitas publik terbatas, akses air minum dan sanitasi tak selalu tersedia, dan pengelolaan wisata yang formal masih dalam tahap berkembang. Ini memberi nuansa “unscripted” pada kunjungan.

Anda datang bukan untuk dikonsumsi sebagai objek, melainkan untuk terlibat dan menghormati lingkungan serta masyarakat setempat. 

Beberapa liputan lokal juga mencatat perlunya pengelolaan yang lebih baik agar pembangunan pariwisata tidak menggerus karakter otentik kawasan sekaligus menjaga keberlanjutan ekologi. 

Dalam perspektif pelancong yang peduli, ini adalah panggilan untuk bertindak, berwisata dengan rendah daya rusak, membawa kembali sampah, dan mendukung ekonomi lokal yang berkelanjutan.

Bagi penikmat fotografi dan cerita visual, Mausui adalah kanvas. Komposisinya sudah diberi oleh alam. Foreground rerumputan, midground kawanan kuda, background gunung dan laut.

Semuanya tersusun seperti puisi panjang tanpa titik. Di tangan fotografer atau novelis, tempat ini bisa menjadi latar untuk kisah-kisah kecil. Seorang penggembala yang menatap jauh, pasangan muda yang berkemah, anak-anak desa yang mengekori kuda, setiap adegan menawarkan dialog halus antara manusia dan lanskap. 

Bagi para penulis, cukup ucapkan “śṛṅgāra” (rasa cinta/keindahan) atau “mādhurya” (kelembutan) untuk menambah lapisan perasaan pada deskripsi tanpa kehilangan kesejatian tempat. 

Pengunjung yang menulis catatan perjalanan biasanya kembali dengan cerita-cerita semacam ini, cerita yang mengikat pengalaman visual dengan pengalaman batin.

Menutup perjalanan pikiran ini, izinkan saya mengusulkan sesuatu yang sederhana. Jika Anda pergi ke Padang Mausui, pergi sebagai saksi yang rendah hati. 

Biarkan kata-kata puitik mengalir ketika Anda melihat, tetapi biarkan juga fakta dan kehati-hatian memandu tindakan Anda. 

Bawalah kamera, tentu, tapi juga bawa rasa hormat. Pakailah sepatu yang baik, tetapi juga bawa kesadaran bahwa Anda sedang menapaki “bhūmi” yang menaruh harapan hidup bagi komunitas setempat. 

Datanglah pada pagi atau sore untuk cahaya yang paling mengubah, tetapi pulanglah membawa cerita yang tidak hanya tentang foto sempurna, melainkan tentang kebersahajaan yang sering kali menjadi inti dari setiap perjalanan yang bermakna. 

Sumber-sumber perjalanan, liputan jurnalistik lokal, dan catatan wisatawan yang telah mengawal tempat ini sejak viralitasnya menjalar memberikan peta kasar, tetapi pengalaman sesungguhnya hanyalah satu, terbenam dalam keheningan padang yang luas, merasakan napas Flores, dan menuliskannya kembali dengan bahasa yang setia pada kenyataan dan rupa-rupa rasa yang ia beri. ***

Posting Komentar

0 Komentar