STOP Catcalling! Perempuan Berhak Merasa Aman di Jalan

Ilustrasi catcalling (lib.um.ac.id)


Oleh: Frids Wawo Lado

=====================

Bayangkan seorang perempuan berjalan sendirian di trotoar selepas pulang kerja. Matahari mulai tenggelam, jalanan lengang, dan ia hanya ingin segera sampai rumah, melepas penat, dan beristirahat. 

Tiba-tiba dari seberang jalan terdengar siulan. “Eh cantik, mampir sini!” atau “Neng, senyum dong!” teriak seorang lelaki sambil tertawa. 

Orang-orang lain mungkin menganggap itu hanya godaan, hanya lelucon kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan. Tetapi bagi perempuan yang mengalaminya, itu bukan sebuah teriakan. 

Itu adalah momen ketika rasa aman seketika dirampas, detak jantung berdegup lebih cepat, dan tubuh terasa kaku. Ia berjalan lebih cepat, menundukkan kepala, berharap tidak ada yang mengikuti, berharap semuanya segera berakhir.

BACA JUGA: Membangun Kehidupan yang Bermakna di Era Digital

Fenomena ini disebut catcalling, sesuatu yang sayangnya sangat umum di ruang-ruang publik di Indonesia. 

Catcalling adalah komentar, siulan, panggilan, atau gestur bernuansa seksual yang dilontarkan kepada seseorang tanpa persetujuannya. 

Kebanyakan korbannya adalah perempuan. Dan walaupun sering dibungkus dengan dalih “godaan”, “candaan”, atau “pujian”, catcalling sejatinya adalah pelecehan verbal. 

Banyak orang tidak sadar betapa dalam dampaknya. Bagi sebagian orang, itu hanya satu kalimat yang meluncur ringan dari mulut. 

Tetapi bagi korban, itu bisa membekas berhari-hari, membuat mereka merasa tidak nyaman berada di ruang publik, membuat mereka ragu untuk keluar rumah sendirian, bahkan membuat mereka menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan cara mereka berpakaian.

Masalah terbesar dari catcalling adalah ia seringkali dipandang remeh. Banyak orang berkata, “Ah, itu cuma bercanda,” atau “Masa gitu saja marah?” atau bahkan “Perempuan kan harusnya senang kalau dipuji.” 

Padahal pujian dan pelecehan adalah dua hal yang sangat berbeda. Pujian lahir dari niat tulus dan menghormati batasan pribadi orang lain. 

Pujian membuat penerima merasa dihargai. Sebaliknya, catcalling datang tanpa persetujuan, sering disertai nada menggoda atau melecehkan, dan menempatkan perempuan sebagai objek. 

Ini bukan bentuk apresiasi, melainkan cara untuk menunjukkan dominasi dan mengingatkan bahwa tubuh perempuan bisa dikomentari oleh siapa saja, kapan saja.

Dampak psikologis catcalling tidak main-main. Penelitian menunjukkan bahwa pelecehan di ruang publik bisa menimbulkan kecemasan, stres, bahkan trauma jangka panjang. 

Banyak perempuan yang akhirnya mengubah jalur perjalanan mereka hanya untuk menghindari tempat tertentu, mengenakan pakaian yang mereka anggap “aman” hanya agar tidak menjadi sasaran komentar, atau memilih untuk tidak keluar rumah sendirian. 

Ruang publik yang seharusnya menjadi milik semua orang berubah menjadi ruang yang terasa mengancam. Dan yang lebih menyakitkan, ketika mereka bercerita tentang pengalaman itu, respons yang datang seringkali justru menyalahkan korban: “Kenapa kamu jalan di situ malam-malam?” atau “Makanya jangan pakai baju begitu.” 

Ini membuat korban merasa sendirian dan merasa keluhan mereka tidak dianggap penting.

Catcalling juga mengukuhkan budaya patriarki. Ia memberi pesan bahwa perempuan hanya dilihat dari penampilan fisiknya, bahwa mereka ada di ruang publik untuk dinilai, diomentari, dan dijadikan hiburan. 

Budaya ini memperkuat anggapan bahwa tubuh perempuan bukan sepenuhnya milik mereka, melainkan sesuatu yang boleh menjadi konsumsi publik. 

Lebih jauh lagi, normalisasi catcalling membuka jalan bagi bentuk pelecehan yang lebih serius. Jika komentar dan siulan dianggap wajar, maka bentuk pelecehan lain akan lebih mudah terjadi karena dianggap “masih wajar juga.”

Banyak argumen yang digunakan untuk membela catcalling sebenarnya rapuh. Ada yang berkata bahwa itu hanya cara “menggoda” dalam budaya kita, padahal budaya bukan alasan untuk mempertahankan perilaku yang melukai. 

Budaya yang sehat adalah budaya yang menghormati martabat manusia. Ada pula yang berkata bahwa laki-laki hanya ingin memuji, padahal pujian bisa disampaikan dengan cara yang sopan dan pada waktu yang tepat. 

Jika komentar Anda berpotensi membuat orang lain merasa tidak nyaman atau terancam, maka itu bukan pujian. 

Ada yang menyalahkan pakaian korban, padahal pelecehan adalah keputusan pelaku, bukan akibat rok, celana, atau baju yang dipakai seseorang. Menyalahkan pakaian hanya membuat pelaku bebas dari tanggung jawab dan membuat korban semakin terpuruk.

Menghentikan catcalling adalah tanggung jawab bersama. Laki-laki perlu merefleksikan kembali kebiasaan sehari-hari mereka, mengukur apakah kata-kata yang dilontarkan di jalan benar-benar perlu diucapkan atau hanya memperkuat pola pelecehan. 

Diam bukan berarti tidak menghargai, diam adalah bentuk menghormati batasan orang lain. Masyarakat juga perlu lebih peka. Ketika melihat orang lain dilecehkan, kita bisa membantu dengan hadir, mendampingi, atau sekadar menegur pelaku. 

Pendidikan tentang persetujuan, batasan pribadi, dan kesetaraan gender harus diajarkan sejak dini. Anak-anak harus tumbuh dengan pemahaman bahwa tubuh orang lain bukan objek komentar, bukan bahan lelucon.

Peran pemerintah dan penegak hukum pun penting. Pelecehan di ruang publik harus dianggap serius dan memiliki konsekuensi hukum yang jelas.

Korban harus diberi ruang untuk melapor tanpa takut dihakimi. Kampanye kesadaran publik dapat dilakukan melalui media massa, media sosial, poster di tempat umum, hingga diskusi komunitas. Kita perlu menciptakan ruang publik yang aman bagi semua, bukan hanya bagi sebagian orang.

Menghentikan catcalling adalah soal mengembalikan rasa aman dan martabat manusia. Ketika kita berhenti berteriak sembarangan kepada perempuan di jalan, kita sedang memilih untuk melihat mereka sebagai manusia seutuhnya, bukan objek hiburan. 

Kita sedang menciptakan dunia yang lebih setara, lebih beradab, dan lebih manusiawi. Mungkin terdengar sederhana, tetapi dampaknya besar. Setiap langkah menuju penghormatan adalah langkah menuju masyarakat yang lebih sehat.

Ruang publik seharusnya menjadi tempat di mana setiap orang bisa berjalan dengan kepala tegak, tanpa rasa takut, tanpa harus menyiapkan strategi untuk menghindari gangguan. 

Perempuan berhak merasakan itu. Anak-anak perempuan kita berhak merasakan itu. Dan kita semua berperan untuk mewujudkannya. 

Berhenti melakukan catcalling. Itu mengubah cara kita memandang orang lain, cara kita memperlakukan mereka, dan cara kita menghargai kemanusiaan. ***

Posting Komentar

0 Komentar