Membaca di Tengah Gempuran Layar, Menyemai Akar Pendidikan yang Berpikir

Frids Wawo Lado di Stadion Real Madrid Santiago Bernabeu, Kota Madrid Spanyol


Penulis: Frids Wawo Lado (Mantan Guru, Warga Kota Kupang)

=====================


Hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei selalu menjadi momen reflektif bagi bangsa ini, bukan hanya untuk mengenang jasa Ki Hadjar Dewantara, tapi juga untuk menilai kembali arah pendidikan kita. Namun, dalam momen semacam ini, satu pertanyaan mendesak mengetuk, apakah anak-anak Indonesia hari ini tumbuh sebagai manusia merdeka yang berpikir, atau hanya sebagai pengguna pasif dari gawai dan algoritma?

Pertanyaan itu menggiring kita pada satu kebiasaan sederhana namun amat mendasar: membaca buku.

Dalam era digital yang penuh dengan distraksi, membaca buku bukan hanya soal kebiasaan belajar, tetapi juga sebuah bentuk perlawanan yang hening tapi radikal terhadap banalitas konten yang dangkal. Dan ini bukan retorika kosong.

Apa yang sedang kita pertaruhkan adalah masa depan generasi yang bisa berpikir sendiri, yang bisa menganalisis, mempertanyakan, bahkan menolak apa yang tidak masuk akal, meski datang dari layar yang bersinar terang.

BACA JUGA: Suanggi di antara Ketakutan Kolektif, Sains, dan Misteri Semesta

Karlina Supelli, seorang cendekia dan filsuf perempuan Indonesia, mengingatkan kita bahwa membaca buku adalah latihan intelektual yang paling mendalam. "Ia tidak bisa digantikan oleh konsumsi hiburan visual seperti TikTok atau film."

Membaca, menurutnya, menciptakan ruang dialog batin antara pikiran pembaca dan pemikiran penulis. Proses ini menuntut otak untuk aktif: membayangkan, menganalisis, menimbang, bahkan membantah.

Bandingkan dengan scrolling di TikTok atau Facebook Pro, yang kita lakukan hanyalah menerima gambar dan suara yang terus mengalir tanpa permisi, tanpa ruang kontemplasi, tanpa tantangan. Dan celakanya, anak-anak kita semakin larut dalam pola konsumsi semacam itu.

Menurut data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2023, 89% anak usia 10-18 tahun di Indonesia telah aktif menggunakan internet, dengan rata-rata waktu penggunaan lebih dari 5 jam per hari.

Dari waktu tersebut, mayoritas dihabiskan untuk menonton video pendek, bermain game, atau berselancar di media sosial. Kontras dengan data UNESCO yang menunjukkan bahwa tingkat literasi membaca buku anak-anak Indonesia masih rendah.

Dalam survei Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018, kemampuan membaca siswa Indonesia menempati peringkat ke-74 dari 79 negara. Ini bukan soal peringkat semata, tapi cerminan nyata bahwa kita sedang menghadapi krisis dalam hal minat dan kemampuan literasi yang sesungguhnya.

Kita mungkin tak lagi hidup di zaman papan tulis dan kapur, tapi bukan berarti kita harus menyerah pada era yang mengagungkan kecepatan dan visual tanpa isi.

Membaca buku bukanlah aktivitas yang ketinggalan zaman, tetapi sebuah kebutuhan kognitif agar manusia tetap bisa berpikir panjang, berpikir mendalam, dan berpikir kritis. Di sinilah letak pentingnya kebiasaan membaca sebagai bagian dari pendidikan yang memerdekakan manusia, sebagaimana dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara.

Ketika anak membaca, dia tidak hanya belajar mengeja kata, tetapi juga belajar menunda kepuasan instan, menavigasi kompleksitas, dan membangun makna sendiri. Inilah jenis pembelajaran yang tidak bisa ditiru oleh video berdurasi 30 detik.

Membaca membutuhkan waktu, perhatian, dan ketekunan, tiga hal yang kian langka dalam budaya instan kita hari ini.

Anak yang terbiasa membaca akan memiliki struktur berpikir yang lebih terorganisasi. Ia belajar mengenali argumen, membedakan opini dari fakta, memahami ironi, bahkan merasakan nuansa emosi yang tersembunyi dalam narasi.

Dengan kata lain, membaca mengasah empati dan nalar sekaligus. Di sinilah buku melampaui sekadar fungsi informatif; ia menjadi alat pembentuk karakter dan kesadaran.

Sebaliknya, konten media sosial, sebanyak apapun disebut "edukatif", lebih sering hanya menyentuh lapisan terluar pikiran. Ia terlalu cepat, terlalu sempit, dan seringkali terlalu bias. Apalagi algoritma media sosial tidak dirancang untuk mendorong berpikir kritis, melainkan untuk membuat pengguna terus bertahan, terhibur, dan, ironisnya, tetap bodoh.

Tidak mengherankan bila kita melihat anak-anak yang lebih fasih membuat video viral ketimbang menulis esai sederhana. Atau siswa yang hafal Gerakan Velocity TikTok tetapi gagal memahami satu paragraf bacaan panjang.

Ini bukan karena mereka malas berpikir, tetapi karena sistem dan lingkungan tidak lagi melatih mereka untuk berpikir. Kita telah membiarkan budaya "kecepatan" mengambil alih dari budaya "pemahaman".

Padahal jika kita berbicara tentang pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, maka membaca adalah fondasinya. Literasi bukan hanya soal kemampuan membaca aksara, tapi juga membaca dunia.

Membaca membuat anak mengenali keragaman perspektif, sejarah, sains, dan imajinasi, semua elemen yang diperlukan untuk membentuk manusia yang utuh. Tanpa membaca, anak-anak kita akan kehilangan akses ke warisan pemikiran manusia dari masa lalu yang seharusnya menjadi bekal untuk menapaki masa depan.

Di tengah dunia yang makin riuh ini, anak-anak membutuhkan ruang hening, dan buku menawarkan ruang itu. Buku tidak menjerit seperti notifikasi, tidak menggoda dengan kilatan warna, tidak meminta perhatian lewat gimmick. Buku hanya membuka dirinya bagi siapa yang bersedia masuk, dan di dalamnya ada dunia yang luas, dalam, dan kaya.

Namun membaca bukanlah kebiasaan yang tumbuh dengan sendirinya. Ia butuh ditanam, dirawat, dan diteladankan.

Orangtua dan guru memiliki peran vital di sini. Anak-anak tidak akan mencintai buku jika orang dewasa di sekitarnya lebih sering sibuk dengan ponsel daripada membaca bersama.

Sebuah studi dari Scholastic (2020) menunjukkan bahwa anak yang dibacakan buku oleh orang tuanya sejak dini memiliki kemungkinan lebih besar menjadi pembaca aktif dan kritis di usia sekolah. Ini bukan hanya soal aktivitas, tapi tentang ikatan emosional antara anak, buku, dan kehangatan pembaca.

Sekolah pun perlu bertransformasi bukan hanya menjadi tempat belajar akademik, tetapi juga menjadi taman literasi yang menyenangkan. Perpustakaan sekolah seharusnya tidak menjadi gudang buku yang berdebu, tapi pusat kehidupan imajinasi. Buku-buku anak harus tersedia, menarik, relevan, dan dikelola dengan semangat cinta baca, bukan sekadar administratif.

Pemerintah pun tak bisa abai. Program literasi seperti Gerakan Literasi Sekolah (GLS) perlu didukung dengan anggaran dan pelatihan yang memadai. Jangan sampai kegiatan membaca hanya menjadi seremoni 15 menit sebelum pelajaran dimulai, tanpa ada ekosistem pendukung yang hidup. Bila literasi hanya berhenti sebagai jargon, maka krisis berpikir bangsa ini akan terus memburuk.

Namun tentu, kita tidak sedang memusuhi teknologi. Kita tidak menolak kehadiran TikTok, YouTube, Fb Pro, atau media sosial lain. Tetapi kita menuntut keseimbangan dan kedewasaan.

Kita ingin generasi yang bisa menikmati teknologi tanpa kehilangan daya kritis. Kita ingin anak-anak yang bisa memproduksi konten, tapi juga bisa merenungkan gagasan. Dan jembatan untuk menuju ke sana adalah kebiasaan membaca.

Bayangkan jika seorang anak bisa membaca buku Pramoedya, memahami cerita Laskar Pelangi, merenungkan puisi Chairil Anwar, lalu menulis ulasannya dan membagikannya lewat TikTok. Itu baru revolusi digital yang sesungguhnya, yakni ketika teknologi menjadi alat untuk menyebarkan pemikiran, bukan hanya hiburan.

Dalam dunia pendidikan yang serba kompetitif dan kurikulum yang semakin padat, kadang kita lupa bahwa tugas utama pendidikan bukan mencetak pekerja atau pelayan industri. Tugas pendidikan adalah membentuk manusia yang berpikir, manusia yang sadar, manusia yang punya kemauan untuk belajar seumur hidup. Dan tidak ada jalan pintas menuju cita-cita itu kecuali membaca.

Kita bisa bayangkan sejenak: dalam satu menit, ratusan video baru diunggah ke TikTok, ratusan pesan masuk di WhatsApp grup sekolah, dan puluhan notifikasi lainnya menanti diklik.

Di tengah pusaran seperti itu, mengajak anak duduk membaca satu bab buku tanpa terdistraksi bagaikan meminta ikan berenang di daratan. Tapi justru karena itulah membaca menjadi keterampilan yang semakin mahal nilainya. Seperti otot yang jarang dilatih, kemampuan berkonsentrasi bisa melemah, dan membaca adalah salah satu cara terbaik untuk mengembalikannya.

Di satu sisi, ada anak yang dalam satu sore bisa menghabiskan 300 halaman novel petualangan. Di sisi lain, ada yang membaca satu paragraf lalu menyerah karena kepanjangan.

Celakanya, yang kedua ini semakin banyak. Bahkan dalam survei internal yang dilakukan oleh Litbang Kompas (2022), ditemukan bahwa 44% pelajar SMP dan SMA mengaku jarang atau sangat jarang membaca buku di luar buku pelajaran. Alasannya? "Buku itu membosankan," atau, "tidak sempat, keburu main game." Ini bukan salah anak-anak semata, tapi gejala dari lingkungan yang tidak lagi menciptakan ruang yang kondusif untuk membaca.

Padahal, anak-anak sebenarnya tidak anti-buku. Mereka hanya belum menemukan buku yang klik. Layaknya sahabat, setiap anak punya selera bacaan yang berbeda. Ada yang terserap dalam dunia sihir seperti di Harry Potter, ada yang terhanyut oleh petualangan Lintang dan Mahar dalam Laskar Pelangi, ada pula yang menyukai kisah sains populer, misteri, atau bahkan puisi.

Masalahnya, akses ke buku yang menarik dan relevan masih timpang. Banyak perpustakaan yang koleksinya usang, lebih mirip museum daripada tempat yang menggugah rasa ingin tahu.

Coba bandingkan dengan Korea Selatan, misalnya. Negara itu tidak hanya membenahi sistem pendidikan, tapi juga membangun ribuan perpustakaan yang modern, nyaman, dan interaktif. Anak-anak di sana diajak sejak dini untuk mengenal buku bukan sebagai kewajiban, tapi sebagai petualangan. Tak heran, skor PISA mereka terus menempati posisi atas.

Penting juga untuk menggarisbawahi bahwa membaca tak hanya mendongkrak kemampuan akademik, tapi juga berkontribusi langsung pada kesehatan mental.

Dalam jurnal Reading and Mental Health (University of Sussex, 2019), disebutkan bahwa membaca selama 6 menit bisa menurunkan stres hingga 68%, lebih efektif dibandingkan mendengarkan musik atau berjalan kaki. Buku menawarkan pelarian yang sehat, sebuah pelukan sunyi di tengah tekanan dunia yang gaduh.

Kita juga perlu ingat bahwa literasi tak harus selalu diawali dari buku tebal atau karya klasik. Komik, cerita pendek, artikel populer, bahkan novel grafis bisa menjadi pintu masuk yang menyenangkan. Asal kualitasnya baik dan memancing imajinasi serta nalar, semua bacaan layak dihargai. Membaca itu seperti berolahraga. Yang penting rutin dulu, gaya bisa berkembang kemudian.

Sebagai bangsa, kita juga perlu lebih kreatif dalam membangun ekosistem literasi. Mengapa tidak membuat klub baca digital yang terhubung lewat WhatsApp? Atau menampilkan resensi buku sebagai konten Instagram Reels yang menarik? Bayangkan jika akun gosip digantikan oleh akun yang membahas buku dengan cara yang jenaka dan relate. Membaca tak harus selalu serius dan khidmat. Ia juga bisa ringan, menghibur, dan tetap bermakna.

Kita pun bisa belajar dari praktik baik di daerah-daerah. Di Yogyakarta, misalnya, komunitas Rumah Baca HOS Tjokroaminoto aktif mengadakan sesi baca bareng di pinggir sungai. Di Makassar, Perpustakaan Lorong menghidupkan kembali gang sempit menjadi ruang literasi warga. Semua itu membuktikan bahwa membangun budaya baca tidak harus mahal, tapi harus konsisten dan penuh cinta.

Dan tak kalah penting, kita harus memberi waktu. Kita terlalu sering membebani anak-anak dengan segudang PR, bimbingan belajar, dan kegiatan les, tapi lupa menyediakan waktu berkualitas untuk membaca. Ironis, bukan?

Kita ingin anak cerdas, tapi kita sendiri tak menyediakan ruang sunyi untuk itu. Seperti tanaman, benih literasi tak bisa tumbuh di ladang yang bising dan tergesa-gesa.

Karena itu, mari perlahan-lahan menggeser narasi. Dari anak harus bisa baca menjadi anak harus suka membaca. Dari sekadar target literasi menjadi kebahagiaan membaca. Karena begitu rasa cinta itu tumbuh, maka buku tak lagi jadi beban, tapi teman. Dan dari sanalah pendidikan yang berpikir bisa benar-benar tumbuh, bukan di papan nilai, tapi di dalam kepala dan hati anak-anak kita.

Bagi penulis, membaca bukan saja kegiatan kognitif, tapi tindakan spiritual, sebuah upaya menjangkau makna, mencari ke dalam, dan berhubungan dengan kemanusiaan yang lebih luas. Anak yang membaca bukan hanya sedang belajar, tapi sedang tumbuh sebagai manusia.

Dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional ini, mari kita rayakan bukan hanya dengan upacara atau seremonial. Rayakanlah dengan membuka buku dan membacanya bersama anak-anak. Karena dari sanalah revolusi pendidikan sejati dimulai: sunyi, perlahan, tapi dalam dan abadi.

Jika bangsa ini ingin berpikir jernih, maka ia harus mulai membaca. Bukan hanya membaca data dan perintah, tapi membaca ide, sejarah, puisi, dan pertanyaan. Membaca untuk berpikir. Membaca untuk merdeka. ***

Posting Komentar

0 Komentar