![]() |
| Ilustrasi parkir liar (Sumber Foto : https://langgam.id/) |
Oleh FRIDS WAWO LADO
======================
Bayangkan sebuah tempat parkir yang sejatinya disediakan secara gratis oleh pemerintah atau pengelola kawasan.
Namun, begitu kendaraan Anda memasuki area itu, seorang juru parkir liar muncul entah dari mana, menadahkan tangan, meminta “uang parkir” tanpa karcis, tanpa kejelasan, dan tanpa akuntabilitas.
Praktik semacam ini jamak terjadi di banyak kota di Indonesia, termasuk di Kota Kupang, dan celakanya, dianggap hal biasa.
Padahal, kalau kita telusuri lebih dalam, ini bukan soal retribusi seribu-dua ribu rupiah.
BACA JUGA: Membaca di Tengah Gempuran Layar, Menyemai Akar Pendidikan yang Berpikir
Ini tentang rente, biaya tambahan yang tidak memberikan nilai tambah.
Ini adalah bentuk ekonomi liar yang merugikan semua pihak, kecuali si penarik pungutan.
Ia tidak membayar pajak, tidak menyetor ke negara, dan tidak memberikan jaminan layanan. Tapi ia tetap mengutip, mengutip, dan terus mengutip.
Parkir liar adalah simbol dari ekonomi rente paling sederhana.
Tidak perlu modal, tidak perlu keahlian, hanya bermodal peluit, rompi, atau kadang hanya kepercayaan diri yang tinggi.
Yang mereka pungut bukan hanya uang parkir, tapi hak publik yang dicatut.
Dalam perspektif ekonomi, ini sungguh ironi. Uang yang dibayarkan masyarakat tidak berkontribusi terhadap pembangunan atau pelayanan umum.
Tidak ada insentif balik berupa keamanan, kenyamanan, atau kepastian lahan. Ini praktik yang tidak hanya menyalahi sistem, tetapi juga menabrak rasa keadilan.
Ketika tempat yang seharusnya gratis berubah menjadi ladang pungutan, maka yang dirugikan bukan hanya konsumen kendaraan, tapi juga pengusaha kecil hingga menengah yang harus beroperasi di tengah ketidakpastian biaya.
Biaya yang seharusnya nol, kini menjadi variabel pengeluaran tambahan. Dan jangan salah, ini bisa menjalar ke harga barang atau jasa yang mereka tawarkan. Ujungnya? Konsumen juga yang menanggung.
Bayangkan warung kopi kecil di pinggir jalan, atau kios-kios di sudut kota. Mereka mengandalkan pelanggan yang mampir. Tapi karena parkir menjadi mahal, padahal tidak resmi, pengunjung jadi malas. Mereka memilih tempat lain.
Dampaknya, omzet turun, pengusaha kehilangan pendapatan, dan akhirnya memilih tutup atau pindah tempat.
Ini lingkaran setan. Parkir liar menciptakan ekosistem ekonomi semu yang tidak produktif.
Ia tidak menciptakan nilai, tidak menumbuhkan inovasi, dan hanya berfungsi sebagai penghalang aktivitas ekonomi yang sehat.
Dalam jangka panjang, kehadiran para pelaku parkir liar ini menjadi parasit bagi dinamika kota.
Mereka memperlambat pertumbuhan usaha kecil, menciptakan distorsi harga layanan, bahkan membuat perencanaan kota menjadi kacau karena banyak ruang publik yang disalahgunakan.
Setiap kota yang ingin tumbuh dan menarik investasi membutuhkan kepastian, termasuk dalam hal sekecil parkir.
Kepastian lahan parkir, tarif resmi, sistem pembayaran yang transparan, hingga pengelolaan yang profesional. Kota yang ruwet dalam soal sekecil parkir saja, akan dianggap tidak layak untuk bisnis berskala besar.
Inilah mengapa penting untuk melawan praktik-praktik parkir liar.
Bukan karena kita pelit, bukan karena soal dua ribu rupiah, tapi karena ini bentuk ketidakadilan sistemik.
Uang yang seharusnya masuk ke kas daerah, untuk membangun jalan, sekolah, fasilitas umum, malah mengalir ke kantong pribadi tanpa pengawasan.
Melawan parkir liar bukan hanya tugas petugas ketertiban atau dinas perhubungan.
Ini urusan kita semua sebagai warga kota. Kita punya hak untuk menolak dipungut di tempat yang seharusnya gratis.
Kita punya hak untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas dari setiap pungutan publik.
Moral ekonomi menuntut bahwa setiap transaksi, sekecil apapun, harus memberi nilai tambah.
Kalau tidak, itu bukan ekonomi, itu eksploitasi. Maka, saat ada tangan yang menadahkan di tempat parkir gratis, kita harus berani berkata: “TIDAK!”
Karena kota yang adil dimulai dari keberanian melawan ketidakadilan, sekecil apapun bentuknya.
Dan parkir liar, sekecil apapun tarifnya, adalah bentuk kecil dari kesemrawutan yang besar. ***

0 Komentar