![]() |
| Literasi pagi di SMPK Santo Yoseph Naikoten setiap pagi |
Bello, 26 Juli 2025
======================
Hari ini saya dan sekitar 190-an orang tua siswa lainnya berbondong-bondong menuju SMP Katolik Santo Yoseph Naikoten Kupang. Cuaca pagi cukup bersahabat. Tak terlalu terik, tak juga mendung. Semangat kami pun serupa, tidak biasa-biasa saja.
Ada semacam dorongan batin (impetus interior) untuk hadir, menyimak, dan terlibat. Karena yang kami hadiri bukan rutinitas tahunan bernama rapat orang tua siswa, tetapi sebuah momen reflektif sekaligus inspiratif, setidaknya itu yang saya rasakan.
Bukan rapat biasa. Rapat ini terasa seperti sebuah perjumpaan spiritual dan intelektual, apalagi ketika Romo Amanche Ninu, Pr, Kepala Sekolah yang sekaligus seorang Imam Katolik, mulai membuka acara dengan senyum ramah, pantun keren, dan nada bicara yang bersahaja namun kuat.
BACA JUGA: Sepotong Catatan dari Taman Doa Oebelo: Jangan Pernah Berhenti Mencintai, Jangan Berhenti Berharap
Ia bukan hanya sedang menyampaikan laporan kegiatan sekolah, tapi seolah sedang menyirami semangat kami para orang tua agar lebih percaya bahwa anak-anak kami sedang bertumbuh di tanah yang subur.
Dan memang, apa yang beliau sampaikan bukan main-main. Banyak hal positif sedang bertumbuh di sekolah ini. Dari kegiatan belajar-mengajar yang tertata efektif, hingga kegiatan ekstrakurikuler yang tak kalah pentingnya dalam membentuk karakter siswa. Ada dance modern, futsal, paduan suara, modeling, menulis, dan masih banyak lagi.
Namun, satu hal yang langsung menempel di kepala dan hati saya adalah kegiatan membaca pagi. Setiap hari, dari pukul 06.30 hingga 07.30 pagi, para siswa diwajibkan membaca buku. Buku apa saja. Fiksi, nonfiksi, novel, artikel, sejarah, biografi, apapun yang bermutu.
Romo Amanche menjelaskan bahwa meski terkesan dipaksakan, tetapi kebiasaan membaca yang "dipaksakan" ini, lama-lama akan menjadi habitus, dalam bahasa Latin artinya pembiasaan yang membentuk karakter. Dan memang benar. Karena saya pun mengalami sendiri keajaiban dari kebiasaan ini.
Saya tumbuh di kampung, di sebuah rumah sederhana dengan tungku api sebagai dapur utama. Setiap sore selepas pulang sekolah, sambil merebus ubi, pisang, atau air panas, saya akan duduk di sisi tungku dan membuka buku. Buku apa saja. Kadang buku pelajaran, kadang buku cerita rakyat, kadang juga buku tua dari perpustakaan sekolah kami.
Rumah kami tak dialiri listrik. Maka satu-satunya cahaya yang menemani saya membaca adalah lampu minyak tanah. Saya menjadi maniak membaca bukan karena dipaksa, tapi karena jatuh cinta. Cinta pada cerita, pada informasi, pada aroma buku yang lama, dan pada sensasi menemukan dunia baru dalam setiap halaman. Akibatnya? Sejak SMP saya sudah harus pakai kacamata minus, dan sampai kuliah mata saya terus "progresif" mengikuti nafsu membaca saya yang tak pernah padam.
Hingga hari ini, di rumah saya, saya sedikit keras terhadap anak saya dalam hal membaca. Ini non-negotiable. Tidak bisa ditawar. Harus membaca setiap hari. Karena saya tahu, membaca bukan saja mencari tahu, tapi membentuk cara berpikir. Membaca itu mengolah. Reading is not just consuming words, it is digesting thoughts.
Saat saya melanjutkan pendidikan ke Seminari Tinggi OCD, membaca bukan lagi hobi, tapi bagian dari napas hidup. Di seminari, semua buku bacaan terutama literatur Filsafat, Teologi, Sosial, Politik, dan yang lainnya mesti dikuliti, baik dalam bahasa Indonesia atau asing. Kemudian, setiap ide besar harus melewati proses internalisasi sebelum menjadi makalah, opini, atau feature setiap minggunya.
Dari membaca lahir pemahaman, dan dari pemahaman lahir perenungan. Cogito, ergo sum, "Aku berpikir, maka aku ada," kata René Descartes. Tapi di seminari, kalimat itu kami lengkapi menjadi "Legi, cogito, scribo, ergo sum, "Aku membaca, aku berpikir, aku menulis, maka aku ada."
Tulisan adalah hasil dari pengendapan ide. Bukan asal tempel kutipan atau salin kalimat. Tapi menyaring apa yang masuk, mengendapkannya dalam pengalaman dan doa, lalu menuangkannya dengan jujur ke dalam bentuk tulisan. Maka menulis bukan hanya soal keterampilan bahasa, tapi soal kedalaman berpikir dan kepekaan rasa.
Saya jadi teringat kembali pada sedikit pengalaman hidup saya yang membekas saat berada di Perancis dan Spanyol. Di sana, budaya membaca bukan hanya slogan yang terpampang di dinding sekolah, universitas, atau iklan layanan masyarakat. Membaca benar-benar menjelma menjadi gaya hidup, seperti menyeruput espresso pagi, atau menyapa dengan “bonjour” dan “hola” setiap kali bertemu.
Di stasiun kereta, misalnya, orang-orang duduk rapi di bangku sambil membaca, bukan ponsel, tapi buku sungguhan, lengkap dengan halaman yang bisa dilipat atau dicium aromanya. Di taman kota, pemandangan serupa tak kalah memesona. Seseorang duduk santai di bangku kayu, membaca sambil menikmati sepoi angin dan secangkir kopi hitam yang mengepul pelan. Sungguh sebuah paduan yang nyaris seperti puisi visual.
Yang menarik, jika seseorang sedang membaca dan tampak tenggelam dalam bukunya, ada semacam kesepakatan tak tertulis, jangan diganggu. Jangan ajak bicara, jangan sapa dulu, biarkan ia menyatu dengan semesta yang dibangun oleh kata-kata.
Bagi banyak orang Eropa, membaca bukan cuma soal mencerdaskan otak, tapi juga menenangkan jiwa. Ia seperti sesi meditasi, sacred time atau waktu suci untuk berdialog dengan ide, imajinasi, dan dirinya sendiri. Interupsi dalam momen seperti itu bisa terasa seperti membunyikan klakson di tengah misa yang sakral.
Dari kebiasaan itu, saya perlahan paham mengapa cara berpikir mereka kerap terasa logis, tajam, dan sistematis. Karena membaca tidak hanya memperkaya informasi, tapi juga melatih otot-otot berpikir, menyusun, menimbang, membantah, hingga menyimpulkan.
Reading cultivates the mind, kata seorang filsuf. Dan saya percaya sepenuhnya. Karena saat kita membaca dengan hati, bukan hanya kepala yang bertumbuh, jiwa pun ikut tercerahkan.
SMP Katolik Santo Yoseph dan Kekuatan Literasi
Kembali ke SMP Katolik Santo Yoseph, sekolah ini seolah hendak mengembalikan makna sejati pendidikan, bukan hanya mengisi kepala, tapi menumbuhkan jiwa. Setelah anak-anak membaca buku hingga selesai, mereka diminta membuat resensi. Yang membimbing mereka adalah Ibu Ida Rosalin, guru Bahasa Indonesia yang penuh dedikasi.
Inilah yang menurut saya luar biasa. Membaca dan menulis disandingkan. Tidak ada membaca yang selesai di halaman terakhir saja. Ia harus dilanjutkan dengan refleksi. Dengan tulisan.
Di tengah gempuran media sosial, kebiasaan menulis menjadi penyaring. Menulis memaksa kita berpikir runtut, jernih, dan bertanggung jawab. Ia melatih disiplin berpikir, dan memperkuat daya kritis. Seseorang yang terbiasa menulis tidak akan gampang termakan hoaks. Karena ia sudah terbiasa menyaring informasi sebelum menampilkannya kembali dalam bentuk narasi.
Langkah kecil membaca dan menulis di sekolah ini, sekilas terlihat sederhana, tetapi sesungguhnya sedang mencetak generasi yang tangguh. Generasi yang tidak hanya bisa scroll and swipe, tapi juga read and reflect.
Saya membayangkan, suatu saat nanti, anak-anak dari SMP Katolik Santo Yoseph ini akan jadi pemimpin-pemimpin yang punya kepekaan dan kedalaman. Mereka bukan hanya bisa bicara di depan publik, tapi juga bisa menulis ide mereka dengan elegan dan bertanggung jawab. Karena sedari dini, mereka dilatih untuk membaca dan menulis, dua hal yang membuat manusia tak hanya pintar, tapi juga bijak.
Saya percaya, seperti saya pernah duduk di samping tungku api dengan buku di tangan, hari ini anak-anak kami duduk di bangku sekolah dengan buku yang sama berharganya.
Mungkin bukan api dari kayu bakar yang menghangatkan mereka, tapi api semangat dari para guru dan kepala sekolah mereka. Semangat untuk membaca. Semangat untuk menulis. Semangat untuk tumbuh.
Dan kalau hari ini saya tampak sedikit cerewet dengan anak saya soal membaca di rumah, itu bukan karena saya galak. Tapi karena saya tahu betul, dari membaca dan menulis, masa depan anak-anak bisa diarahkan, bukan dibiarkan.
Seperti kata pepatah Latin, Verba volant, scripta manent, “Kata-kata bisa hilang, tetapi yang tertulis akan abadi.”
Bukankah itu harapan setiap orang tua?
Membaca dan menulis adalah dua hal sederhana, tapi punya kekuatan besar. Ia ibarat lilin kecil di tengah gelap. Dan di sekolah ini, saya melihat lilin-lilin itu mulai dinyalakan. Setiap pagi, satu jam membaca. Setiap pekan, satu resensi. Perlahan tapi pasti, anak-anak ini sedang dipersiapkan bukan hanya untuk ujian sekolah, tapi untuk ujian kehidupan.
Karena itu, saya pulang dari rapat hari ini dengan rasa syukur yang dalam. Di sekolah ini, anak-anak kita tidak hanya sedang diajar. Mereka sedang dituntun menjadi manusia. Dan sebagai orang tua, saya merasa ikut terlibat dalam perjuangan itu. Fiat lux! Jadilah terang. ***

0 Komentar