Oleh: Frids Wawo Lado (Umat Katolik di Stasi Hati Kudus Yesus Beumopu, Paroki Santo Yoseph Pekerja Penfui Kupang)
Matahari memayungi Oebelo dengan sinar yang menyilaukan, namun seolah mengerti bahwa hari itu bukan hari biasa.
Senin, 21 April 2025, bukan hanya hari di kalender umat, melainkan Senin Paskah Kedua.
Di bawah langit biru yang bersahabat, sekelompok peziarah dari Kelompok Arisan Rumah Kencana, WKRI Ranting Stasi Hati Kudus Yesus Beumopu, dan umat dari KUB Santo Carolus Boromeus datang bersatu dalam langkah yang sama, menuju Taman Doa Yesus Maria, taman hening milik Keuskupan Agung Kupang yang kini digembalakan dengan lembut oleh para pastor Claretian, termasuk sosok ramah dan hangat, Pater Mansentus Jemarut, CMF, atau yang akrab disapa Pater Mance.
Pater Mance belum lama menetap di taman ziarah ini, baru tiga bulan. Tapi ada aura keheningan yang kuat ketika ia berbicara, seperti suara air yang menetes di tengah sunyi, jernih dan dalam.
BACA JUGA: Tour de EnTeTe 2025 adalah Jalan Panjang Melki Laka Lena Mengantar NTT Menuju Panggung Dunia
Sebelumnya, ia mengabdi di Novisiat CMF, Timor Leste, sebuah tempat pembentukan yang menempa batin dalam sunyi dan kontemplasi. Kini, di Taman Doa Oebelo, Pater Mance menanam harapan baru di tanah rohani umat Kupang.
Baru menghitung hari di tempat ini, akan tetapi jejak rohani Pater Mance mulai terasa dalam setiap sudut taman ziarah yang ia rawat, dalam setiap kata yang ia ucapkan, dan dalam setiap keheningan yang ia minta kita jaga.
“Saya berharap kita semua berada di sini harus menjaga keheningan.”
Kalimat itu sederhana, tetapi dalam. Keheningan bukan saja tanpa suara, melainkan ruang bagi jiwa untuk bersuara. Dan di dalam keheningan itu, kita membuka diri pada Roh Kudus yang lembut dan teguh, membisikkan kepada kita bahwa hidup adalah ziarah, dan ziarah bukanlah pelarian, tapi perjumpaan.
Tahun 2025, oleh Gereja, ditetapkan sebagai Tahun Yubileum, Tahun Pengharapan. Spes non confundit, pengharapan tidak mengecewakan. Dan memang, pengharapan tidak pernah mengecewakan jika kita tahu kepada siapa kita berharap.
Kutipan ini diambil dari surat Paulus kepada jemaat di Roma, yang berbunyi: "Dan pengharapan tidak mengecewakan kita, karena kasih Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus, yang telah dikaruniakan kepada kita" (Roma 5:5).
Ungkapan ini menekankan bahwa pengharapan yang kita miliki kepada Allah tidak akan mengecewakan kita. Harapan kita di dalam kasih Allah akan membawa kepastian dan kekuatan untuk menghadapi segala kesulitan dan tantangan.
Pada tanggal 9 Mei 2024 yang lalu, Paus Fransiskus menerbitkan Bulla tentang tahun jubilium 2025, dan Paus Fransiskus telah menetapkan "Spes non confundit" sebagai tema untuk Tahun Yubileum 2025.
Tema ini mengajak umat Katolik untuk merenungkan arti pengharapan dan kasih Allah dalam kehidupan sehari-hari.
Tema ini memberikan pesan penting bagi umat Katolik untuk tetap setia dalam harapan, bahkan di tengah kesulitan dan tantangan yang mungkin dihadapi.
"Spes non confundit" juga mengingatkan kita untuk menjadi saksi pengharapan bagi dunia di sekitar kita.
Hari itu, di tanah yang diteduhi pohon, di bawah langit yang bersaksi, harapan tidak hanya hadir dalam bentuk doa, tapi juga dalam tawa, pelukan, sharing, bahkan dalam langkah kaki yang sedikit letih menuju Kapela Santo Yohanes Paulus II di puncak bukit.
Dalam sesi sharing, ada kilau hangat dari kisah Bapak Pit Masiama dan Mama Merry Moon, dua sosok yang mungkin tidak viral di dunia digital, tapi viral di hati kami semua karena keteladanan iman mereka.
Sharing mereka mengalir seperti air jernih dari mata air yang tak pernah mengering. Tidak menggurui, tidak berkhotbah, tapi menunjukkan bahwa iman bukan kata-kata, melainkan cara hidup.
Makan siang bersama menjadi jeda yang hangat. Tidak ada yang lebih manusiawi dari duduk makan bersama, berbagi makanan dan tawa.
Pukul 14.00 Wita, kami berjalan, menanjak pelan, menapaki setiap langkah dengan Rosario di tangan. Misteri-misteri mulia kami doakan di antara desir angin dan debur napas.
Suasana begitu damai, seakan surga turun sedikit, mendekat. Saat sampai di puncak dan merayakan Ekaristi pada pukul 15.00 Wita, hati kami sudah disiapkan.
Misa itu bukan hanya perayaan liturgis, tapi juga perayaan hidup. Di sana kami memohon kekuatan agar tetap menjadi umat Allah yang baik dan benar di tengah dunia yang semakin bising, semakin cepat, dan kadang kehilangan arah.
Refleksi yang dibawakan juga memberi napas baru: memaknai kebangkitan Kristus di tahun pengharapan ini sebagai ajakan untuk kembali pada keluarga.
Paus Fransiskus pernah berkata saat mengunjungi Asia bahwa ia dulu mengira Katolik hanya ada di Eropa, tapi ternyata justru Katolik bertumbuh kuat di Asia.
Sebuah kesadaran yang membuat kita tak bisa lagi merendahkan peran kita. Kita bukan bayang-bayang dari Barat, kita adalah cahaya dari Timur. Dan cahaya itu dimulai dari keluarga.
Tahun Yubileum bukan hanya soal tradisi Gereja yang tua. Ia adalah tahun rahmat. Tahun pengampunan. Tahun saling berbagi. Tahun kembali kepada yang sederhana: cinta dan kesetiaan.
Paus Fransiskus mengingatkan, di tengah buaya-buaya zaman modern, yang sering kali berupa teknologi yang membius, kita harus menjaga iman kita. Jangan sampai kemajuan mengikis kedalaman. Jangan biarkan gawai menggantikan doa.
Keluarga adalah Gereja kecil. Di sanalah kita pertama kali belajar mengampuni, mencintai, berharap. Jika cinta itu tulus, maka cinta itu tahan sampai mati.
Amor vincit omnia, cinta mengalahkan segalanya. Maka jangan pernah berhenti mencintai, jangan pernah berhenti berharap.
Tidak ada istri yang lebih cantik daripada istri sendiri. Tidak ada suami yang lebih tampan dari suami sendiri. Kalimat itu sederhana, tetapi membawa kita pada kedalaman penghayatan akan kesetiaan.
Selama ziarah ini, kami bukan hanya datang untuk jalan-jalan rohani. Kami datang untuk mendengar. Mendengar alam, mendengar sesama, mendengar suara Tuhan dalam sunyi. Dan suara itu berkata, "Berjalanlah terus. Jangan takut. Kamu tidak sendiri."
Dalam tahun ini, setiap langkah kecil adalah bagian dari jalan besar menuju kekudusan.
Di akhir perjalanan, kami tidak membawa oleh-oleh berupa benda. Kami membawa oleh-oleh berupa pengalaman. Kami tidak pulang dengan tangan penuh, tetapi dengan hati penuh. Dan mungkin, inilah makna terdalam dari ziarah: pulang dengan diri yang baru.
Tahun Yubileum ini adalah momen langka. Ia ibarat mata air yang muncul hanya sesekali, dan kita diberi kesempatan untuk meneguknya. Maka biarlah air itu kita bawa dalam kendi hidup kita masing-masing. Agar saat hidup terasa kering, kita tahu ke mana harus menengadah.
Oebelo mungkin hanya satu titik di peta. Tapi bagi kami yang ada di sana hari itu, Oebelo adalah tempat perjumpaan. Tempat jiwa kami disentuh. Tempat iman kami dikuatkan. Dan tempat harapan kami disegarkan.
Karena benar kata Paus: Semoga harapan mengisi hati Anda. Dan dari Oebelo, harapan itu kami bawa pulang. Bukan untuk disimpan, tapi untuk dibagikan.
Peziarahan belum selesai. Tapi kami siap melanjutkan. Dengan hati penuh syukur, dengan cinta yang lebih dalam, dan dengan harapan yang tak pernah padam. ***

0 Komentar