Mari Saksikan Langit Turun Memeluk Bumi di Punggung Wolo Bobo

 


Ada pagi-pagi di Bajawa ketika kabut belum sempat membereskan selimutnya, dan Wolo Bobo berdiri seperti penjaga sunyi yang ramah.

Rumputnya berkilau oleh embun, anginnya dingin namun akrab, dan dari kejauhan kerucut Inerie menampakkan diri seperti segitiga raksasa yang diajari rapi oleh geometri alam. 

Di punggung bukit inilah perjalanan kecil saya dimulai. Langkah pelan, napas disetel senyap, dan mata dibebaskan merekam panorama yang jarang mau berkompromi dengan kata-kata. 

Wolo Bobo, di Kabupaten Ngada, hanya beberapa belas menit dari Kota Bajawa, adalah tempat di mana langit seperti turun tangan untuk memeluk bumi. Dari sini kita bisa menyapu pandang ke lembah hijau, desa-desa adat yang kecil seperti jeda, hingga siluet Gunung Ebulobo yang malu-malu muncul dari tirai awan. 

Di banyak hari, sunrise dan sunset menjadi dua kitab harian yang selalu baru; halaman-halaman cahaya dibuka tepat saat kita siap merasa takjub.

BACA JUGA: Sei Babi Kupang: Aroma Asap, Rasa Persaudaraan

Nama Wolo Bobo kerap disandingkan dengan frasa “negeri di atas awan,” bukan karena puitik belaka, tetapi karena kabut yang sering menubruk lembah dan bertahan seperti danau putih yang senyap. 

Menjelang petang, bias jingga kerap menyusup, menyulam tipis garis-garis bukit, sementara puncak Inerie menjadi bayang-bayang tegas yang menenangkan, semacam tanda baca raksasa pada paragraf terakhir hari. 

Saat pagi, sebaliknya, udara yang dingin menyentuh kulit seperti peringatan manis bahwa pegunungan punya ritme sendiri. Di sini burung-burung menulis melodi, dan kita menjadi pembaca yang beruntung.

Perjalanan menuju puncak bukan perkara sulit, tetapi tetap minta kita bersikap sopan pada alam. Dari Bajawa, aksesnya dekat, sekitar 3 kilometer ke arah selatan sebelum jalur menanjak memintal di antara kebun kopi dan rumpun eucalyptus. 

Sebagian orang menyebut ketinggiannya sekitar 1.500–1.700 mdpl, cukup untuk membuat napas sedikit berat namun hati lega. 

Kita melewati jalan beraspal yang sesekali berlubang, lalu setapak yang mengantar ke tepi kawah kuno, konon bibir kaldera yang terbentuk ribuan tahun lampau, dan di sanalah hamparan pandang menyapa, luasnya seperti kalimat panjang yang tak ingin segera diakhiri.

Di Wolo Bobo, waktu punya cara berjalan yang berbeda. Kamera boleh sibuk, tapi kita tahu betul ada detail-detail yang tak sempat masuk frame, seperti aroma tanah lembap setelah angin menipiskan kabut, bunyi serangga yang seperti titik-titik renik pada kanvas hijau, dan percakapan pelan para pejalan yang menyamakan langkah. 

Kadang ada menara pandang kayu sederhana. Kadang hanya batu yang cukup datar untuk jadi bangku. Apa pun itu, tempat ini memberi jeda, ruang sunyi yang membuat kita berani mendengarkan diri sendiri. 

Dan ketika matahari merekah dari sisi timur, rasanya seperti menyaksikan bab pertama sebuah novel, kita belum tahu ke mana cerita akan dibawa, tapi kita yakin ingin membacanya sampai selesai.

Ada hari-hari ketika Wolo Bobo ramai oleh tawa keluarga dan rombongan kecil pemburu cahaya. Ada pula musim ketika festival menghidupkan nama Ngada, panggung budaya, kopi Bajawa yang harum, bambu, dan tenun yang tampil sebagai alinea-alinea kebanggaan. 

“Mountain walk” pernah jadi agenda yang membuat jalur-jalur setapak berubah menjadi kalimat-kalimat petualangan. Orang-orang datang bukan sekadar untuk foto, tapi untuk memahami bahwa pesona Flores bertunas dari perpaduan alam dan tradisi. 

Di sela itu semua, Wolo Bobo tetaplah Wolo Bobo yang tenang, lapang, siap menerima siapa pun yang datang dengan rasa ingin tahu.

Bagi pelancong, beberapa hal praktis terasa seperti catatan kaki yang penting. Datang subuh atau jelang senja, karena dua waktu itu adalah editor terbaik bagi cahaya, wajib membawa jaket tipis, topi, dan alas kaki yang bersahabat dengan tanah. 

Di beberapa sumber disebutkan tiket masuknya ramah kantong dan bisa berubah sewaktu-waktu. Harga kecil untuk panggung besar bernama cakrawala. 

Jalur lewat Desa Boua sering direkomendasikan, dan bagi yang tak membawa kendaraan, ojek lokal adalah kalimat sambung yang sederhana namun efektif. 

Di akhir kunjungan, jangan terburu pulang. Duduklah sejenak, biarkan angin merapikan pikiran, dan jika beruntung, lautan awan akan menuliskan puisi singkat di hadapanmu.

Wolo Bobo adalah tempat yang membuat kita mengerti bahwa perjalanan bukan semata-mata tentang sampai, melainkan tentang cara berdiri diam dan merasa cukup. 

Di sinilah saya belajar lagi mengeja kata hening, mengecap manis getir udara gunung, dan memahami bahwa pemandangan terbaik sering muncul setelah kita rela bangun lebih pagi dari kebiasaan. 

Jika Flores adalah buku yang harum oleh kopi dan panjang oleh jalan, maka Wolo Bobo adalah halamannya yang paling bersih, minim dekorasi, maksimal makna. 

Ketika kita menuruni bukit, membawa pulang sisa dingin di kulit dan sedikit debu di sepatu, kita tahu satu hal, ada lanskap yang tidak hanya kita lihat, tetapi juga kita simpan di dada, seperti paragraf yang akan terus kita baca ulang dalam ingatan. ***

Posting Komentar

1 Komentar