Sei Babi Kupang: Aroma Asap, Rasa Persaudaraan


Bayangkan sebuah meja sederhana di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di atasnya, terhidang sepiring sei babi yang asapnya masih samar tercium, menebarkan wangi khas kayu kosambi yang sudah berjam-jam membelai daging hingga meresap ke dalam seratnya. 

Dari sekian banyak kuliner di nusantara, sei babi adalah salah satu yang paling jujur: sederhana, tanpa bumbu berlebihan, tapi rasa dan ceritanya bisa menyalakan begitu banyak memori dan perasaan.

Sei, yang dalam bahasa setempat berarti “daging yang disayat memanjang”, bukanlah saja hidangan. Ia lahir dari tradisi panjang masyarakat NTT, terutama Kupang, yang sabar menunggu daging diasap perlahan, bukan dimasak dengan api besar.

BACA JUGA: Juru Bicara Infrastruktur Hadir di Garis Depan, Menjembatani Rakyat dengan Visi Presiden

Inilah seni memasak dengan kesabaran. Daging yang digantung di atas bara, tidak dibakar, melainkan diselimuti asap hingga matang dengan sendirinya. 

Hasilnya? Potongan daging dengan warna merah muda lembut, pinggirannya kecokelatan, beraroma smoky yang khas, dan teksturnya empuk menggoda.


Sebagai seorang penikmat makanan lokal, saya pernah punya pengalaman menarik ketika pertama kali menyantap sei babi di sebuah warung kecil di bilangan Oebobo, Kupang. 

Warungnya sederhana, kursi plastik berjajar, meja kayu tanpa hiasan. Namun begitu piring sei mendarat di meja, saya tahu ini bukan sembarang makan siang. 

Begitu kamera saya nyalakan, aroma itu langsung menusuk hidung, menuntut perhatian penuh. Potongan sei tipis-tipis disusun rapi, ditemani sambal lu’at yang hijau menyala, dan sayur bunga pepaya serta daun singkong rebus. 

Saya mendekatkan kamera, lalu mencoba satu gigitan kecil. Dan di situlah saya merasa, kamera tak pernah bisa benar-benar menangkap rasa yang saya alami. 

Gurih daging, lembutnya tekstur, ditambah sambal lu’at yang pedasnya menggigit, membuat saya spontan menutup mata, mencoba meresapi sensasi yang menari di lidah.

Ada sesuatu yang humanis dalam sepiring sei babi. Ia bukan makanan yang dibuat untuk dimakan sendiri-sendiri. Porsinya biasanya besar, dipotong panjang, disajikan untuk dibagi-bagi. 

Orang Kupang percaya, makanan adalah bagian dari persaudaraan. Dan benar saja, saya melihat bagaimana keluarga di meja sebelah duduk bersama, menyuap nasi dengan sei yang sama, tertawa, bercerita, tanpa perlu banyak formalitas. Makan sei bukan hanya soal kenyang, tapi juga soal dekat.

Pedasnya sambal lu’at pun seolah jadi pengikat cerita. Sambal ini dibuat dari cabai rawit, daun kemangi yang aromanya khas, dan perasan jeruk lokal yang segar. Setiap suap sei dengan sambal ini menghadirkan kontras rasa: pedas, segar, gurih, sekaligus hangat. 

Bunga pepaya dan daun singkong rebus yang pahitnya menenangkan, justru menjadi penyeimbang sempurna dari sei dan sambalnya. 

Di titik ini, saya sadar, keindahan sei babi ada pada kesederhanaan yang penuh keseimbangan. Tidak ada yang berlebihan, tidak ada yang terlalu mencolok, tapi semua berpadu jadi harmoni.

Yang menarik, sei babi tak pernah kehilangan identitasnya meski kini sudah masuk restoran modern. Di Kupang, kita bisa menemukannya di warung sederhana pinggir jalan, hingga restoran yang lebih mewah dengan sajian yang lebih tertata. Tapi intinya sama, sei adalah sei, dengan aroma asap kayu dan rasa gurih dagingnya yang tak tergantikan. 

Bahkan, banyak pendatang yang begitu jatuh cinta, sampai rela membawa sei sebagai oleh-oleh, dibungkus rapat agar aroma asapnya tetap terjaga ketika tiba di kota lain.

Bagi saya, sei babi di Kupang adalah jendela untuk memahami filosofi hidup orang NTT. Sabar, hangat, dan penuh persaudaraan. 

Daging yang dimasak dengan waktu lama itu seolah melambangkan kesabaran. Sambal lu’at yang pedas tapi menyegarkan, melambangkan semangat hidup yang penuh energi. Dan cara sei disajikan untuk dibagi-bagi, adalah cerminan budaya persaudaraan yang kuat.

Setiap kali saya mengingat pengalaman makan sei babi di Kupang, yang saya rindukan bukan hanya rasa gurih dan aroma asapnya, tapi juga suasana. 

Nona-nona Kupang yang masuk ke dalam warung, tawa orang-orang yang bercampur dengan suara sendok beradu di piring, dan keramahan pemilik warung yang selalu bertanya, “Mau tambah sambal lagi, kak?” Ada rasa rumah dalam setiap potongan sei, meski kita datang sebagai orang asing sekalipun.

Sei babi Kupang adalah kuliner yang tidak hanya memuaskan perut, tetapi juga menyentuh hati. Ia mengajarkan bahwa makanan terbaik bukanlah yang paling mewah atau paling rumit, melainkan yang dibuat dengan kesabaran, disajikan dengan ketulusan, dan dinikmati bersama orang-orang terdekat. 

Sei babi menyimpan cerita persaudaraan yang terus hidup di setiap gigitan. ***

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Menu makan paling sempurna ketika ditraktir ..hehehe

    BalasHapus