Kisah Seorang Mahasiswi di Kupang: Pagi Kuliah, Malam Open BO, Hari Minggu Aktif di Gereja

Foto ilustrasi


Catatan: Tulisan ini berdasarkan pengakuan langsung seorang mahasiswi di Kota Kupang saat diwawancarai untuk berita di media online Telegrafnesia.com dan identitasnya dirahasiakan.

Kupang, kota yang sedang bertumbuh pesat sering dipandang sebagai gerbang modernitas bagi anak-anak muda Nusa Tenggara Timur. 

Kota ini seperti magnet yang menyedot ribuan mahasiswa setiap tahun. 

Dari Flores, Sumba, Alor, Lembata, Rote, Sabu, hingga beberapa kota di Timor, mereka datang dengan mimpi sederhana,  yaitu kuliah, meraih gelar sarjana, lalu kembali membawa kebanggaan bagi keluarga. 

Beberapa universitas di Kota Kupang menjadi pusat gravitasi utama.

Anak-anak muda datang dengan doa orang tua, koper berisi baju seadanya, dan tekad yang keras. 

BACA JUGA: Membaca, Menulis, dan Mendidik Jiwa: Catatan dari Rapat Orang Tua di SMP Katolik Santo Yoseph Naikoten Kupang

Orang tua mereka, sebagian besar petani, nelayan, pedagang kecil, rela menjual hasil kebun, sapi, atau ikan untuk mengantarkan anak-anak ke perbatasan mimpi itu. 

Tetapi begitu sampai di Kupang, realitas menampar tanpa ampun. Kota yang tampak hangat dengan laut biru dan kadang deru angin panas ternyata menuntut ongkos hidup yang jauh dari murah. 

Kos-kosan sederhana di Oebobo, Liliba, Penfui, atau Kayu Putih bisa mencapai setengah hingga hampir satu juta rupiah sebulan. Makan di warung kaki lima sehari bisa menelan Rp15–20 ribu. 

Ongkos transportasi, kuota internet, buku, hingga biaya kuliah yang per semesternya mencapai jutaan rupiah menumpuk menjadi angka mustahil.

Tak jarang, mahasiswa mengakali hidup dengan berbagai cara. Ada yang jadi barista, penjaga toko, kasir minimarket, guru privat, hingga tukang ojek daring. Tapi tidak semua punya akses ke pekerjaan itu. 

Perempuan lebih sempit pilihannya, dan di titik rapuh itulah, jalan gelap kerap terbuka, jalan yang ditawarkan dengan bisik-bisik, dijalani dengan air mata, dan disembunyikan rapat-rapat di balik wajah polos mahasiswa.

Malam itu, di Jalan Eltari, saya bertemu salah satu dari mereka, setelah sebelumnya saling membuat janji dengan bantuan seorang teman. 

Jalan itu seperti denyut nadi Kupang. Siang jadi jalur sibuk menuju bandara, sekolah, kantor, pelabuhan, rumah sakit, dan lain sebagainya. Malam berubah jadi ruang nongkrong anak muda. 

Tempat jagung bakar berderet sederhana, asap arang mengepul ke udara, lampu-lampu neon seadanya berkelip, dan suara kendaraan besar menderu tak pernah berhenti. Di tengah riuh itu, ada ruang kecil untuk cerita yang jarang diucapkan.

Ia datang dengan sederhana, kaos oblong, celana jeans lusuh, sandal jepit. Namun cantik. 

Rambutnya diikat seadanya, wajahnya tanpa riasan. Jika bertemu di kampus, orang tak akan pernah menebak kisah yang ia simpan. 

Kami duduk berhadapan di bangku kayu panjang, jagung bakar di tangan, kopi hitam sachet mengepul di gelas plastik.

“Orang lihat saya, paling pikir saya mahasiswi biasa. Kuliah, nongkrong, tugas. Tapi malam-malam saya bukan di kos. Ada tempat lain yang harus saya datangi,” ucapnya, lirih.

Namanya tak bisa ditulis. Ia hanya meminta satu hal, agar ceritanya disampaikan tanpa menyebut identitas. 

“Nama itu seperti benteng terakhir,” katanya pelan.

Ia berasal dari sebuah desa di Flores. Ayahnya seorang petani ladang, ibunya menjual hasil kebun di pasar kecamatan. Mereka mengumpulkan uang dengan susah payah, hanya cukup untuk biaya awal masuk kuliah dan sewa kos kecil di Liliba. Setelah itu, ia harus berjuang sendiri.

Awalnya ia mencoba jalan lurus. Ia sempat bekerja di sebuah kafe kecil di Oebobo, menjaga toko pakaian di Naikoten, bahkan jadi tutor privat untuk anak SMA. Tetapi gajinya selalu tak sebanding. 

Sementara waktu terus berjalan. Uang kos harus dibayar, listrik dan air harus dilunasi, tugas kuliah menuntut biaya fotokopi, dan semester berikutnya menunggu dengan tagihan jutaan rupiah.

“Kadang saya makan nasi campur Rp10 ribu dibagi dua kali. Siang setengah, malam setengah. Ada hari saya cuma minum air putih sampai perut sakit. Tapi tetap saja tidak cukup kaka,” ujarnya, menatap kosong ke arah lampu jalan yang berkedip.

Di titik itu, seorang teman memperkenalkan “jalan lain.” Dunia malam. 

Dunia yang selama ini hanya ia dengar lewat bisik-bisik buram atau film murahan. Awalnya ia menolak. 

“Saya marah, kecewa. Kenapa saya ditawari hal seperti itu. Tapi waktu uang kuliah jatuh tempo, dan saya tidak punya pilihan lain, saya menyerah,” katanya lirih.

Malam pertama adalah malam terberat.

“Saya hampir kabur. Rasanya jijik, takut, hampa. Tapi uang di tangan saya nyata. Saya bisa bayar kos, bisa makan, bisa kuliah lagi. Pulang malam itu saya menangis sepanjang jalan. Tapi besoknya saya duduk di kelas, seolah tidak ada apa-apa.”

Ia meneguk air mineral, menunduk sejenak, lalu berkata dengan suara datar. 

“Kalau saya berhenti, kuliah saya habis. Kalau saya terus, saya kehilangan sebagian diri saya. Jadi saya pilih luka yang bisa saya tanggung.”

Di kampus, ia rajin, bahkan dikenal cerdas. Nilainya baik, ia sering membantu teman mengerjakan tugas. Di gereja, ia adalah gadis yang aktif dalam urusan kerohanian setiap hari Minggu atau perayaan-perayaan besar, dengan mengikuti koor, atau pelayanan lainnya.

Tidak ada yang tahu kehidupan gandanya. Siang ia belajar, bercanda, mengerjakan laporan. Malam, ia menjalani peran yang tak pernah ia impikan. 

“Kadang saya iri lihat teman-teman saya kaka. Mereka dapat kiriman tiap bulan, bisa tidur tenang. Saya? Saya harus berhadapan dengan laki-laki asing hanya untuk bayar satu SKS,” ucapnya, senyum getir melintas di bibirnya.

Kupang memang bukan Jakarta, tapi denyut dunia malamnya ada. Karaoke di Kelapa Lima, bar tersembunyi di Jalan Siliwangi, kos-kosan tertentu di Penfui, menjadi ruang transaksi yang jarang disorot. 

“Kupang itu kecil. Orang gampang saling kenal. Tapi dunia malamnya tetap hidup, hanya lebih tersembunyi. Ada banyak mahasiswi lain seperti saya. Kami pintar sembunyi. Siang kami tetap kuliah, malam kami jadi orang lain, kasarnya menjual diri lewat open BO,” ujarnya, suaranya turun setengah nada.

Ia tahu risikonya, seperti stigma, penyakit, bahkan kemungkinan dikenal dosen atau tetangga kos. 

Tapi semua itu ia simpan demi bertahan. 

“Saya tidak bangga, tapi saya juga tidak mau jadi korban keadaan. Saya ingin selesai kuliah, dapat kerja layak, bantu orang tua. Saya selalu bilang ke diri sendiri, ini hanya sementara.”

Di akhir percakapan, dengan jagung yang setengah gosong di ujung tangkai kayu, ia menutup dengan kalimat yang sulit saya hapus dari kepala. 

“Siang saya tentang mimpi, malam saya tentang bertahan hidup. Dan entah bagaimana, saya harus bisa menjembatani keduanya.”

Malam Kupang tetap bergemuruh. Anak muda masih tertawa, mobil melintas, lampu jalan menyala. Tapi di balik cahaya itu, ada kisah yang tidak masuk dalam brosur kampus atau pidato pejabat. 

Kisah tentang mimpi yang digadaikan, luka yang disembunyikan, dan harapan yang tetap dipeluk meski jalan menuju ke sana penuh gelap. ***

Posting Komentar

4 Komentar

  1. Smngat yh Kaka, kstinggal itu semua sudah, hiduplah dengan baik kak. Ada kok yg lebih halal dri itu semua. Asal smngat saja. Jngn nyerah eh KK.

    BalasHapus
  2. Hai cantik
    Tetap hidup dan semagat yah
    Apapun cobaannya sya yakin kamu bisa melewati itu🥰🤗

    BalasHapus
  3. Setiap orang dgn jlnnya. Selamat berjuang menjemput takdir

    BalasHapus
  4. Boleh kenalin orangnya kak, aku kasih peluang bisnis bt dia..

    BalasHapus